BERDEBU. Sangat berdebu. Buku itu nyelempit di rak sosiologi. Di antara buku-buku tua dan berdebu, buku itu tidak menawarkan daya tarik apa-apa. Sampul hijaunya di bagian atas dan putih di bagian bawah menghadirkannya sebagai buku tanpa gairah. Tulisan kapital ORIANA FALLACI, si penulis juga tidak menawarkan ruang imajinasi untuk berkelana.
Tiga foto di sampul depan –di kemudian hari, saya mengetahui tiga foto itu sebagai Yasser Arafat, Henry Kissinger dan Indira Gandhi- juga tidak berkutik untuk memperkenal diri sebaik-baiknya dan semenarik-menariknya. Dengan kalimat yang lebih simple, buku itu tidak mampu menarik minat pembeli.
Kecuali itu, judul “Wawancara dengan Sejarah” dan sederet nama-nama yang tertera di bawahnya: Henry Kissinger, Jenderal Giap, Norodom Sihanouk, Golda Meir, Yasser Arafat, Raja Hussein, Indira Gandhi, Ali Bhutto dan Willy Brandt, seperti lorong baru di hadapan saya. Lorong itu semakin gemerlapan ketika harga buku di toko-buku “Karya Anda” itu begitu bersahabat dengan kantong saya: delapan ribu plus diskon 20%. Saya mendapatkan buku itu dengan harga enam ribu. Harga yang tak perlu berpikir dua kali untuk merogoh isi kantong.
Saya membeli buku itu tahun 2009. Waktu itu, saya tidak sempat membaca buku itu secara tuntas. Kesibukan dan tugas kuliah yang menumpuk memaksa saya memasukkannya dalam rak buku. Baru lima tahun kemudian, saya punya kesempatan untuk menyelaminya lebih dalam. April 2014 saya mampu merampungkan kuliah pasca-sarjana. Sepanjang 2014 itu, saya menghabiskan hari-hari sebagai mantan mahasiswa dan penganggur. Untuk mengisi ruang-waktu lengang itu, saya membuka buku-buku lama yang tak sempat tuntas.
Di halaman pembuka, uraian ‘kekuasaan’ Oriana Fallaci yang sengit dan menyengat, menghangatkan imajinasi awal saya tentang sembilan wawancara yang dilakukan wartawati asal Italia itu pada beberapa tokoh berpengaruh di dunia.
“Kekuasaan,” tulis Fallaci, “sebagai gejala yang tidak manusiawi dan yang dibenci…” dan “Akan tetapi,“ lanjut di paragraf berikutnya, “bagi saya, nampaknya, sisi yang paling tragis dari situasi manusia ialah justru kebutuhan akan kekuasaan, yang memerintah, yang memimpin…” dan “Kekuasaan,” sekali lagi Fallaci menegaskan pandangannya, “adalah bukti yang paling pahit, bahwa kemerdekaan secara mutlak tidak ada, tidak pernah ada, dan tidak dapat ada.”
Uraian Fallaci benar-benar sinis dan memuakkan tentang kekuasaan. Saya membayangkan, Fallaci akan selalu mengatakan menentang, tidak percaya dan kritis terhadap segala hal yang berbau kekuasaan.
Tapi kemuakan wartawan kelahiran Florence, 29 Juni 1929 pada kekuasaan itu tidak serta merta membuat kalimat kering dalam menuliskan wawancaranya pada tokoh-tokoh politik dunia. Fallaci dengan piawainya menyuguhkan hasil wawancaranya dengan gaya tutur yang indah. Kalimat-kalimatnya begitu hidup dan energik mendeskripsikan tokoh-tokoh yang ‘dibencinya.’
Berikut satu kalimat indah Fallaci dalam menguraikan sosok Kissinger, “… Orang lima puluh tahunan ini memakai kaca mata bergagang. Dibanding dengannya, James Bond merupakan suatu penemuan tanpa sambal. Ia tidak menembak, tidak berhantam, tidak meloncat dari mobil yang sedang berlari seperti halnya James Bond…”
Selain itu, keindahan kalimat-kalimat Fallaci tidak membuatnya takut pada gertakan dan ancaman dari orang-orang yang “dibencinya” itu. Itu ditunjukkannya manakala Ali Bhutto memintanya untuk menulis satu artikel yang menyatakan, bahwa wawancaranya dengan Ali Bhutto hanya imajinasi.
Ali Bhutto memintanya begitu karena ungkapan-ungkapan selama wawancara dengan Oriana Fallaci menyinggung Indira Gandhi dan mengancam penjanjian perdamaian antara India dan Pakistan. Fallaci bergeming. Dipaksa dan dikuntit kemana pun, Fallaci tetap tidak mau mengubah pendirian dan hasil wawancaranya dengan Ali Bhutto.
Hah, saya menulis dan ‘mengenang’ Fallaci di tengah kesuntukan kabar yang tak menentu. Saya memang tidak pernah bertemu dan bercakap-cakap dengan Fallaci. Tapi buku berdebu yang saya beli dengan enam ribu di toko-buku “Karya Anda” sudah cukup untuk membuat saya rindu. Saya rindu dengan sosok penyebar kabar yang berintegritas, berdedikasi dan total dalam menjaga idealisme jurnalistik. Tabik.
*Setapu, esais dan penikmat seni tinggal di Bangkalan.
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS