POLITIK itu menarik, politik itu menghibur, tetapi politik juga memuakkan. Tiga persepsi mengenai politik itu juga tecermin apabila kita mengikuti perkembangan politik setelah Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014.
Politik menjadi menarik untuk ditonton jika kita melihat bagaimana elite-elite politik, Prabowo Subianto dan Joko Widodo, misalnya, yang sebelumnya bertarung habis-habisan dengan berbagai strategi dan taktik untuk memenangi Pilpres 2014, kemudian saling menyapa dan berpelukan dengan penuh persahabatan.
Pada era Demokrasi Parlementer pun, seperti yang diungkapkan Taufik Ismail dalam salah satu puisinya, ada dua anggota parlemen dari dua partai dengan ideologi yang berseberangan. Keduanya mengaum dan seakan ingin menerkam serta mencabik-cabik lawan saat parlemen bersidang. Namun, begitu keluar sidang, mereka dapat makan sama-sama dan mengobrol ibarat sahabat yang amat kental.
Politik jadi tontonan yang menghibur apabila kita melihat bagaimana para wakil rakyat di DPR beraksi di parlemen dengan tingkah dan gaya bicara yang tidak kalah lucunya dibandingkan dengan pelawak. Namun, politik juga memuakkan apabila sidang parlemen tidak ditujukan untuk mencari solusi terbaik bagi bangsa dan negara, melainkan adu kuat politik tanpa memikirkan asas kebersamaan dan kekeluargaan yang termaktub dalam nilai-nilai Pancasila kita. Anggota DPD asal Aceh, Ghazali Abbas, menggambarkan politik di parlemen sebagai ”monopolistik dan hegemonistik”. Ini mengingatkan kita pada salah satu slogan yang muncul pada era Orde Baru mengenai bahaya ”Diktator Mayoritas dan Tirani Minoritas”.
Politik yang memuakkan itu bisa kita lihat saat DPR membahas RUU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), serta Tatib DPR yang disahkan pada 16 September 2014. Juga pembahasan RUU Pilkada sampai keluarnya Perppu Pilkada Langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemilihan pimpinan DPR, penentuan sempalan Fraksi PPP yang mengajukan nama-nama calon pimpinan alat-alat kelengkapan Dewan, sampai ke rapat-rapat penentuan pimpinan alat kelengkapan dewan, yang bukan saja sapu bersih pimpinan 11 komisi oleh koalisi pendukung Prabowo, juga hanya menyisakan satu kursi untuk perempuan, yaitu posisi Titi Soeharto sebagai Wakil Ketua Komisi IV.
Seorang anggota DPR dari Partai Amanat Nasional, Viva Yoga Mauladi, menolak tuduhan terjadi diktator mayoritas di DPR sebab tak bertentangan dengan konstitusi, UU MD3, dan Peraturan Tata Tertib DPR terbaru. Sebaliknya, Hendrawan Supratikno, anggota DPR dari PDI Perjuangan , menuduh anggota DPR dari koalisi pendukung Prabowo-Hatta telah melanggar sumpah/janji jabatan yang mendahulukan kepentingan bangsa dan negara serta mengesampingkan kepentingan individu, kelompok, atau golongannya, dan juga melanggar beberapa pasal di dalam Tatib DPR, khususnya terkait aturan pemilihan para pimpinan alat kelengkapan Dewan.
Becermin pada Demokrasi Liberal
Herbert Feith dalam buku klasik yang wajib dibaca para ilmuwan dan praktisi politik Indonesia, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, menggambarkan mengapa demokrasi konstitusional atau Demokrasi Liberal gagal pada 1957, hanya dua tahun setelah Pemilu 1955 yang amat demokratis itu.
Dari pandangan kaum realis, yang menitik beratkan power atau kekuatan politik, Demokrasi Liberal tidak gagal, tetapi digagalkan atau dimatikan oleh dua kekuatan besar, yaitu Presiden Soekarno yang berkoalisi dengan TNI AD, yang berujung dikeluarkannya Dekrit 5 Juli 1959 yang membubarkan Konstituante. Lalu, disusul pembubaran DPR berganti dengan pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong. Bagi kalangan idealis, Demokrasi iberal memang gagal karena, meskipun semua pelaku politik taat pada konstitusi negara (UUDS 1950), ada tiga kondisi yang menyebabkan demokrasi gagal, yaitu kurangnya budaya demokrasi kalangan elite politik, kurangnya pendidikan elite dan rakyat, serta kurangnya basis ekonomi bagi demokrasi.
Jika kita kaji lebih lanjut, bergantinya sistem demokrasi di Indonesia dari Demokrasi Parlementer ke Demokrasi Terpimpin, Demokrasi Pancasila, dan terakhir demokrasi tanpa embel-embel sejak 21 Maret 1998, kita melihat bahwa kalangan elite politik Indonesia tidak memiliki kesabaran politik atau ketahanan politik untuk menerapkan satu sistem demokrasi. Kita dapat memaklumi diterapkannya Demokrasi Parlementer saat Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta mengangkat Sutan Sjahrir sebagai perdana menteri (PM) karena itu adalah untuk mencegah pemerintahan Indonesia adalah boneka Jepang. Sjahrir adalah tokoh non-kooperatif terhadap Jepang.
Ditunjuknya Natsir sebagai PM oleh Bung Karno pada 6 September 1950 dan berakhir 21 Maret 1951, setelah mosi tidak percaya di parlemen, menunjukkan kegagalan awal demokrasi liberal. Ada beberapa penyebab jatuhnya Natsir. Namun, satu hal yang nyata bahwa Natsir sebagai tokoh Partai Masyumi yang berbasis Islam modernis di perkotaan tidak memasukkan PNI dalam kabinetnya. Kabinet Sukiman yang juga dari Masyumi, tetapi berkultur Jawa, memahami betapa pentingnya memasukkan PNI ke dalam kabinet. Kabinet ini jatuh karena politik luar negeri RI di bawah Menlu Ahmad Soebardjo dianggap melenceng dari garis politik luar negeri RI yang bebas dan aktif dan dipandang ingin membangun aliansi politik dengan AS. Era Demokrasi Liberal menunjukkan, seorang menteri atau perdana menteri dapat dijatuhkan melalui mosi tidak percaya.
Pergantian pemerintahan di Indonesia sampai 1998 menunjukkan betapa politik, pertarungan ideologi, pertarungan kekuasaan, serta tidak sabarnya para elite politik untuk menerapkan satu sistem secara lama sampai benar-benar ajeg menjadi penyebab bergantinya rezim.
Politik di parlemen saat ini
Jika kita melihat apa yang terjadi di DPR saat ini, menunjukkan betapa warisan politik era Demokrasi Parlementer masih begitu kuat walau kita menganut sistem presidensial. Elite politik di parlemen senang sekali mengubah UU politik ataupun Tata Tertib Dewan, bergantung pada kepentingan jangka pendek mayoritas koalisi di parlemen dan bukan kepentingan jangka panjang menata politik Indonesia ke depan ke arah yang lebih terkonsolidasi dan menuju ke kedewasaan politik.
UU Parpol atau UU Pemilu dibuat atau diamendemen tiap lima tahun hanya untuk menemukan kompromi politik antara partai besar dan kecil. UU Pilkada (2014) yang dianulir oleh perppu disebabkan kepentingan sempit mayoritas partai koalisi pendukung Prabowo ketimbang untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan pemerintahan daerah. Keluarnya perppu sebagai pengganti UU Pilkada tak langsung juga lebih diawali oleh kekuatan Partai Demokrat dan unjuk kekuasaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono vis-À-vis PDI-P dan Megawati Soekarnoputri walau memang berguna untuk menyelamatkan demokrasi di tingkat daerah.
Pembuatan Tata Tertib Dewan, khususnya terkait tata cara penentuan pimpinan DPR dan alat-alat kelengkapan Dewan, juga lebih didasari kekuatan politik ketimbang asas kekeluargaan, kebersamaan, dan keadilan di parlemen. Ketika PDI-P jadi pemenang pemilu yang tidak sampai mencapai suara mayoritas di parlemen, pemilihan ketua Dewan melalui voting. Saat Partai Demokrat menguasai parlemen hasil Pemilu 2009, penentuan ketua DPR atas dasar suara terbanyak. Baru pada 2014 ini, UU MD3 dan Tatib DPR benar-benar dibuat oleh koalisi mayoritas di parlemen 2009-2014 dan 2014-2019 yang meluluhlantakkan asas kebersamaan, kekeluargaan, dan keadilan itu.
Berlakunya ”Diktator Mayoritas” di parlemen inilah yang menyebabkan kegaduhan demi kegaduhan politik terjadi di parlemen. Koalisi Indonesia Hebat merasa tidak diberi kesempatan ”naik ke ring tinju” untuk berebut pimpinan Dewan karena dikunci oleh aturan sistem paket yang didukung enam fraksi berbeda (saat PPP) masih bergabung ke Koalisi Merah Putih.
Lebih lanjut, saat penentuan pimpinan alat-alat kelengkapan Dewan (komisi dan badan-badan), kisruh internal di PPP juga dijadikan permainan politik. Dengan dalih PPP Suryadharma Ali masih sah dan sudah mengajukan daftar nama calon pimpinan alat-alat kelengkapan Dewan, pimpinan sidang pun mengetuk palunya. Tidak mengherankan jika kubu PPP versi Muktamar Surabaya mengamuk hebat walau tindakan itu memang tidak patut dilakukan di parlemen. Tidak mengherankan pula jika Koalisi Indonesia Hebat juga membuat pimpinan DPR tandingan, sesuatu yang ditabukan dalam model parlemen dengan sistem presidensial.
Kompromi atau macet
Ketika kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla sudah mulai bekerja, DPR masih diselimuti kebuntuan politik. Dalam politik sesungguhnya tidak ada kemacetan politik yang tidak ada jalan keluar. Dari sisi politik, DPR saat ini mengalami kondisi stalemate, yaitu tiadanya jalan keluar karena semua diblok, atau sudah sampai pada taraf deadlock.
Kondisi ini bisa diubah apabila para elite atau pimpinan partai yang bertarung duduk bersama mencari jalan keluar terbaik, seperti kocok ulang pimpinan-pimpinan alat-alat kelengkapan Dewan. Itu tidak cukup dengan janji-janji politik dari pimpinan parpol dan pimpinan DPR dari kubu Koalisi Merah Putih, tetapi diimplementasikan dalam kebijakan yang nyata. Kaukus perempuan di dalam dan di luar parlemen juga dapat melakukan tekanan-tekanan politik agar perwakilan perempuan di jajaran pimpinan dan alat-alat kelengkapan Dewan benar-benar memberikan kesempatan bagi kaum perempuan untuk menjadi pemimpin.
Bila gagasan ini tetap ditolak, tak ada cara lain bagi Koalisi Indonesia Hebat untuk memperkuat argumentasi penopang eksekutif kala berbagai kebijakan pemerintah diajukan kepada parlemen. Kalangan pers dan masyarakat juga dapat menjadi kekuatan penopang demokrasi yang lebih substansial. Pembentukan pimpinan DPR tandingan ataupun pembuatan perppu bukan jalan keluar yang baik karena hanya akan menambah deadlock di DPR dan tidak mandirinya DPR.
Entah kapan politik di Indonesia benar-benar dalam rangka bernegara dan berkonstitusi untuk kepentingan bangsa dan negara Indonesia.
Ikrar Nusa Bhakti
Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Sumber: Kompas
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS