SURABAYA – Wakil Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Surabaya Adi Sutarwijono berpendapat, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan perangkat peraturan yang berlaku tidak siap dengan calon tunggal dalam pemilu kepala daerah (pilkada).
Menurut Adi Sutarwijono, jika dipaksakan muncul pasangan calon lain, selain bakal calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dan Whisnu Sakti Buana, maka yang dipenuhi hanya standar prosedural pilkada.
“Bisa jadi calon pasangan lain itu jadi-jadian atau semacam boneka karena substansi kompetisi untuk melahirkan pemimpin yang unggul, dan disetujui mayoritas rakyat, sama sekali tidak terjadi. Sementara negara harus mengeluarkan dana hampir Rp 100 miliar untuk mendanai pilkada yang tidak kompetitif itu,” kata Awi, sapaan Adi Sutarwijono, kemarin.
Jika benar nanti Pilkada Surabaya hanya diisi pasangan calon tunggal, yakni Risma-Whisnu, jelas Awi, maka KPU harus bertanggung jawab untuk mencari jalan keluar yang konstitusional atas kebuntuan prosedural itu. “Pemerintah pusat dan DPR sebagai pihak yang menyusun Undang-Undang Pilkada juga harus bertanggung jawab,” ujarnya.
Wakil Ketua Komisi A DPRD Surabaya ini mengatakan dalam Pilkada pesertanya adalah perseorangan, bukan partai politik, sedang penyelenggara adalah KPU. Karena, sebagai penyelenggara Pilkada, maka KPU mempunyai legal standing untuk bertanggung jawab mencari jalan keluar yang konstitusional jika pesertanya hanya satu pasangan calon.
Sedang posisi partai-partai politik adalah semacam saluran legal-konstitusional untuk menuju pada pencalonan. Partai-partai politik tidak patut bertanggung jawab jika ternyata kelak hanya muncul satu pasangan calon dalam Pilkada Surabaya.
“Penjelasan KPU hanya berpijak pada koridor legal, tetapi juga menunjukkan gejala kebingungan dengan perkembangan politik di Kota Surabaya,” katanya.
Hal ini dikarenakan UU Nomor 8/2015 tentang Pilkada merumuskan standar proseduralnya harus diikuti dua pasangan calon, sehingga bisa melahirkan kompetisi. Perangkat UU dan peraturan lain yang berlaku tidak memberi slot atau ruang jika ternyata hanya muncul satu pasangan calon.
“Ini kelemahan dan kelalaian demokrasi voting yang dianut UU Pilkada sekarang, dengan tidak memberi ruang ditempuhnya prosedur musyawarah mufakat jika hanya muncul satu pasangan calon,” terang Awi.
Jika demokrasi voting dipaksakan diterapkan untuk konteks Pilkada Surabaya saat ini, dengan standar prosedurnya harus diikuti sedikitnya dua pasangan calon, lanjut dia, maka negara dan rakyat sangat rugi besar dengan membuang dana hampir Rp100 miliar untuk membiayai pilkada yang secara riil politik tidak kompetitif.
Komisioner KPU Kota Surabaya Purnomo sebelumnya menilai pelaksanaan pilkada secara aklamasi atau musyawarah mufakat tidak bisa terlaksana karena UU pilkada tidak mengatur hal itu. Dia mengatakan, jika ternyata sampai dengan masa pendaftaran berakhir hanya ada satu pasangan calon, maka KPU akan memperpanjang pendaftaran sampai ada minimal dua pasangan calon. (goek/*)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS