SURABAYA – Komisi D DPRD Kota Surabaya tidak ingin persoalan masyarakat di kawasan Putat Jaya pasca penutupan lokalisasi Dolly berlarut tanpa kejelasan. Komisi yang membidangi kesejahteraan rakyat ini menggelar hearing dengan dinas terkait untuk mencari solusi terbaik bagi warga yang terdampak penutupan Dolly, Rabu (28/1/2015).
Ketua Komisi D Agustin Poliana mengatakan, bahasan rapat dengar pendapat soal Dolly kali ini terkait dampak ekonomi yang dialami warga. Sebab, katanya, banyak warga yang akhirnya kehilangan mata pencarian setelah Dolly ditutup Pemkot Surabaya.
Menurut Titin, sapaan legislator dari PDI Perjuangan tersebut, yang dilakukan pemerintah selama ini sudah cukup baik, yakni memberi pelatihan kepada warga. Namun, setelah pelatihan tidak ada tindak lanjutnya.
“Jangan sekedar dilatih, harus ada upaya agar mereka bisa produktif. Misalnya, mengupayakan kemudahan mendapatkan bahan baku dan pemasaran,” kata Titin.
Kepala Dinas Sosial Supomo yang hadir dalam hearing mengatakan, Pemkot Surabaya sebenarnya sudah melakukan upaya pemberdayaan warga di sekitar eks-lokalisasi Dolly. Upaya untuk mengajak warga itu, sampai sekarang masih dilakukan.
Pemkot, ujarnya, juga sangat akomodatif terhadap keinginan warga terkait pelatihan apa yang mereka inginkan. “Dalam waktu dekat ini ada pelatihan sablon untuk anak-anak muda setempat. Biayanya sekitar Rp 90 juta dari CSR sebuah perusahaan,” kata Supomo.
Meski demikian, tambah dia, pemkot membutuhkan masukan semua pihak dalam mencari solusi penanganan warga eks-lokalisasi Dolly. “Kami tetap minta masukan semua pihak. Kami butuh dukungan,” ujarnya.
Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Airlangga Bagong Suyanto yang juga hadir di Komisi D menilai Pemkot Surabaya belum berhasil memberantas prostitusi. Meski Dolly sudah ditutup, katanya, tapi prostitusi masih marak di Kota Pahlawan.
Dia yakin, penutupan Dolly dan juga Jarak, memicu tumbuhnya tempat prostitusi secara terselubung. Pun persebaran penyakit HIV/AIDS akan tidak terkontrol.
Bagong juga menyatakan, program pelatihan kepada warga, seperti menjahit, membuat kue tidak tepat sasaran. Apalagi program tersebut hanya diberikan dalam waktu singkat, sehingga tidak cukup membekali warga terdampak untuk mencari pekerjaan atau membuka usaha. (pri
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS