JAKARTA – Media Barat sudah memuji Indonesia sebagai negara paling top di Asia Tenggara dalam urusan kedewasaan berdemokrasi. Hasil Pilkada, Pileg dan Pilpres 2014 lalu jadi acuannya. Bila DPR mengesahkan Pilkada tak langsung, maka citra ini bisa rusak.
Dalam tulisan berjudul In Southeast Asia, Indonesia Is an Unlikely Role Model for Democracy yang terbit 4 September 2014, New York Times memuji demokrasi Indonesia. Terutama setelah damainya proses Pileg dan Pilpres 2014. Mereka menyebut, RI lebih baik dibandingkan negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, Kamboja, bahkan Singapura.
Di Thailand, militer masih sangat dominan, bahkan bisa menggulingkan pemerintahan hasil pemilu yang berkuasa. Malaysia dan Kamboja tak pernah ada perubahan signifikan dari sisi pemerintahan. Filipina ada pemilu langsung, namun isu suap dan kekerasan masih mewarnai prosesnya. Vietnam masih dikuasai komunis, sedangkan Myanmar baru melangkah ke arah demokrasi setelah lama dikuasai militer.
Berbeda halnya di Indonesia, demokrasi dianggap berjalan sangat baik. 140 Juta berpartisipasi dalam pemilihan 2014 lalu, hampir 75 persen dari rakyatnya. Hasilnya, meski sempat diwarnai protes dan demo turun ke jalan, bisa berakhir damai.
“Tidak ada keraguan, Indonesia sekarang menjadi negara yang paling demokratis di Asia Tenggara dan ini sesuatu yang tak diprediksi sebelumnya sejak tahun 1998,” kata Marcus Mietzner, pakar tentang Indonesia di Australian National University, kepada New York Times.
Dengan semua ‘prestasi’ demokrasi yang susah payah dibangun selama ini, apakah usulan untuk membuat Pilkada kembali ke DPRD tepat? Atau malah mungkin merusak tatanan yang sudah baik sejauh ini?
“Iya, ini bisa menurunkan momentum yang sudah baik. Image dan reputasi positif Indonesia bukannya dibenahi secara substantif, tapi malah dikoreksi secara prosedural,” kata pengamat politik dari UGM Arie Sujito saat berbincang dengan detikcom.
Sejumlah alasan Koalisi Merah Putih–pendukung Prabowo-Hatta– mengusung Pilkada kembali ke DPRD sebetulnya, menurut Arie, sudah banyak tidak masuk akal. Pertama, soal biaya Pilkada Langsung mahal sudah diputuskan oleh MK solusinya adalah menggelar Pilkada serentak. Sehingga, tidak ada alasan lagi urusan biaya dikaitkan dengan mahalnya Pilkada langsung.
Selain itu, Pilkada tidak langsung juga bentuk kemunduran konstitusi. Warga negara menjadi hilang hak konstitusionalnya, karena semua ditarik ke parlemen. Sementara partai politik masih belum dibenahi secara internal.
“Kalau maih mengoreksi, mengoreksi partainya, bukan mekanisme pemilihan langsungnya. Partai ini malah yang bikin tidak efektif di pilkada langsung,” terangnya.
Pilkada lewat DPRD juga tidak memberi garansi bakal adanya perbaikan kepemimpinan. Yang bakal terjadi adalah minimnya pengawasan publik saat pemilihan karena sistem lewat DPRD cenderung tertutup. “Tak ada lagi panwaslu, media massa yang memantau,” imbuhnya.
“Rakyat juga tidak bisa mengontrol kekuatan bupati dan wali kota terpilih. Nanti bakal penuh persekongkolan. Banyak menggunakan APBD untuk kepentingan berdua (pemerintah dan DPRD), nanti deal-deal di situ,” tegasnya.
Sumber: Detik.com
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS