PERTAMA, saya ingin letakkan dulu konteks dan teks pernyataan media saya tentang mantan Presiden Soeharto. Saya ditanya oleh teman-teman media tentang pernyataan Capres Pak Prabowo di forum internasional yang menyatakan bahwa korupsi di Indonesia saat ini sudah sangat masif dan merajalela dan dianalogikan seperti penyakit kanker stadium 4.
Pertanyaan tersebut mengusik rasa nasionalisme saya, karena mengapa Pak Prabowo tega membuka aib bangsa sendiri di luar negeri. Kita semua paham dan sangat prihatin dengan penyakit korupsi di Indonesia. Hal itu merupakan Pekerjaan Rumah (PR) kita sebagai sebuah bangsa dan harus kita selesaikan secara bergotong-royong dan sungguh-sungguh serta bukan sekedar dijadikan isu politik.
Hal itulah yang membuat saya dengan sangat terpaksa harus mengingatkan kembali memori kolektif bangsa Indonesia tentang asbabul wurud bagaimana penyakit korupsi bangsa Indonesia terjadi hingga merajalela seperti sekarang ini yang di awali dengan gerakan Reformasi Rakyat dan Mahasiswa Indonesia tahun 1998 menjatuhkan rezim Orde Baru (Orba).
Salah satu isu utamanya adalah pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) hingga keluarnya TAP MPR Nomor XI Tahun 1998 yang lahir karena pertimbangan dalam penyelenggaraan negara selama dipimpin Presiden Soeharto telah terjadi praktek-praktek usaha yang lebih menguntungkan sekelompok tertentu yang menyuburkan KKN yang melibatkan para pejabat negara dengan para pengusaha sehingga merusak sendi-sendi penyelenggaraan negara dalam berbagai aspek kehidupan nasional. Bahkan, di Pasal 4 TAP MPR tersebut juga terdapat perintah dilakukan penegakan hukum kepada mantan Presiden Soeharto sebagai tersangka korupsi beserta kroni-kroninya.
TAP inilah yang kemudian menjadi dasar lahirnya UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Pak Prabowo pada waktu itu merupakan bagian dari sistem rezim Orde Baru bahkan beliau diduga juga mendapat keistimewaan sebagai menantu Pak Harto.
Saya hormati hak siapapun untuk menggunakan hak hukumnya, termasuk jika ingin memolisikan pendapat hukum dan pandangan politik saya. Namun, silahkan kita buka kembali berbagai dokumen hukum dan politik serta banyaknya pernyataan serta berbagai opini dari para tokoh dan lembaga-lembaga di dalam negeri dan internasional yang telah membuat pernyataan Pak Harto sebagai Presiden Koruptor.
Tidak ada hal baru atas pernyataan saya tersebut. Coba saja searching google dengan pertanyaan siapa Presiden Terkorup Di Dunia, maka yang akan keluar adalah nama mantan Presiden Soeharto bahkan pernyataan yang lebih keras dari pernyataan saya pun cukup banyak.
Bahasa kiasan yang saya gunakan menyebut Pak Harto sebagai guru korupsi di Indonesia juga berdasarkan fakta-fakta hukum mulai TAP MPR Nomor XI Tahun 1998 hingga keluarnya berbagai regulasi atas nama pemerintah yang menjadi payung hukum berbagai tindakan KKN pada era Orba hingga putusan Mahkamah Agung tahun 2017 tentang Yayasan Supersemar yang telah memutuskan terjadinya kerugian negara sebesar 4,4 Trilyun. Dalam bahasa hukum pidana kerugian negara 4,4 Trilyun sebagai akibat penyalahgunaan keuangan negara tersebut disebut “korupsi”.
Sebagai fakta ilmiah paling mutakhir juga dapat dilihat dari hasil penelitian disertasi Dr. Oce Madril di UGM tahun 2018 lalu. Setidaknya ada 8 Keppres yang dibuat masa Presiden Soeharto yang diduga kuat telah menguntungkan keluarga dan kroni-kroninya. Penghentian status terdakwa dalam kasus pidana korupsi Pak Harto pada waktu itu pun dilakukan bukan atas dasar alasan hukum yang diatur dalam pasal 140 ayat (2) huruf (a) KUHAP, tetapi semata-mata karena alasan kemanusiaan.
Praktek korupsi oleh pejabat negara pada era Orba kemudian dianggap sebagai suatu hal yang “lumrah” karena terlembagakan melalui regulasi pemerintah. Hal itu yang kemudian menjadi fakta sosiologis terjadinya perilaku korupsi oleh pejabat eksekutif tertinggi negara hingga terjadi reproduksi sosial dan budaya korupsi di lembaga-lembaga negara hingga saat ini.
Selama ini sikap PDI Perjuangan selalu obyektif dan proporsional terhadap mantan Presiden Soeharto. Lihat saja bagaimana sikap Bu Mega saat Pak Harto jatuh, Bu Mega tidak menggunakan jabatannya sebagai Wakil Presiden dan Presiden RI untuk membalas sakit hati atas perlakuannya kepada Presiden Soekarno pada masa lalu. Bu Mega dengan sikap negarawan memaafkan Pak Harto dan bahkan merencanakan memberikan abolisi atas status terdakwa korupsi Pak Harto, justru Pak Amien Rais yang waktu itu keras menentangnya.
Saya pun dalam berbagai kesempatan selalu mengajak bangsa Indonesia menghormati jasa-jasa pahlawan dan pemimpin bangsa termasuk kepada Pak Harto dan hal-hal positif yang pernah beliau lakukan kepada bangsa Indonesia. Namun demikian, kita harus mengingatkan kembali memori kolektif bangsa jika ada pihak-pihak yang ingin menghidupkan kembali nilai-nilai kepemimpinan masa Orba karena ada sisi buruk pemerintahan Orba yang tidak boleh kita lestarikan, utamanya “best practice” menyelenggarakan praktik korupsi oleh negara. Untuk kepentingan pendidikan politik kepada rakyat, saya kira kita harus obyektif mengatakan bahwa ada sisi baik kepemimpinan Presiden Soeharto dan ada juga yang negatifnya agar bangsa kita tidak lagi mengalami lagi situasi seperti itu.
Sekadar perbandingan saja, jaman Orba kalau ada aktifis mahasiswa kritis apalagi mencaci-maki terhadap pemerintah, nasibnya bisa mengalami pemecatan dari kampusnya seperti kasus sahabat saya Fadzroel Rachman dan kawan-kawan lainnya yang di pecat dari ITB dan juga bisa mengalami penghilangan dengan penculikan seperti Petrus Bima Anugrah, Wiji Thukul Herman Hendrawan dan lain-lain .
Di era Pak Jokowi, segala tindakan negara atau pemerintah terhadap dugaan tindak pidana setiap warga negara selalu dilakukan di atas dasar prinsip-prinsip negara hukum yang melibatkan bukan hanya lembaga Ekeskutif tetapi juga lembaga Yudikatif yang independen dan mandiri. Sistem negara hukum seperti ini adalah konsensus bangsa Indonesia yang dituangkan dalam pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Semua pihak terikat dengan konsensus negara hukum tersebut.
UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu dan berbagai regulasi turunannya memberikan justifikasi atau pembenaran kepada pasangan Capres atau Tim Pemenangannya bahwa dalam masa kampanye Pileg dan Pilpres ini dibenarkan menyampaikan fakta-fakta obyektif tentang berbagai hal menyangkut track record pasangan calon kandidat lain. Paslon Prabowo-Sandi sudah secara resmi dan di berbagai kesempatan bukan saja mengidentifikasi sebagai bagian dari Orde Baru tetapi juga menyatakan akan melanjutkan cara kepemimpinan Pak Harto.
Sebagai sebuah bangsa, saya setuju untuk mengambil hal-hal positif yang pernah Pak Harto lakukan selama 32 tahun kekuasaannya seperti keberhasilannya menjaga swasembada pangan, berhasil dibungkamnya gerakan yang bersifat SARA dan separatisme. Akan tetapi, untuk kepentingan pendidikan politik kepada rakyat, terutama generasi muda yang tidak mengalami masa kekuasaan Orba, perlu diberitahu juga bahwa ada sisi suram bangsa Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Harto dulu.
Intinya, hal-hal positif yang pernah beliau lakukan untuk bangsa Indonesia kita hormati dan kita pelihara. Sementara hal-hal buruk harus kita maafkan dan tinggalkan namun jangan sampai kita melupakannya. Saya juga berharap jangan ada lagi pernyataan-pernyataan ataupun tindakan yang membuat rakyat dipancing dan terpaksa harus membongkar-bongkar lagi keburukan-keburukan dan kejahatan-kejahatan kekuasaan Orba di masa yang lalu. “Mari kita warisi api perjuangan para pendahulu bangsa kita, jangan kita warisi abunya”.
Ahmad Basarah
Jubir TKN Jokowi-Amin
Wasekjen PDI Perjuangan
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS