“SAYA minta sebuah risalah yang membicarakan soal “Sayid”. Ini buat saya bandingkan dengan alasan-alasan saya sendiri tentang hal ini,” tulis Sukarno dalam suratnya kepada Kiai Hassan dikutip dari buku Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi.
Menimba ilmu keislaman dilakukan Bung Karno dari Kiai Hassan melalui surat, terjadi saat sang putera fajar itu menjalani pengasingan di Ende, Flores dari 1934 sampai 1938.
Tak sekadar nyantri melalui surat, meminta penjelasan terkait hal-hal keislaman, Bung Karno juga memohon kepada Kiai Hassan agar dikirimi buku-buku seperti Pengadjaran Shalat, Utusan Wahabi, Al-Muchtar, Debat Talqien, Al-Burhan compleet, dan Al-Jawahir.
Tak sekadar berguru kepada Kiai Hassan. Berbagai catatan sejarah menyebutkan, Bung Karno juga menimba ilmu keislaman,, sowan dan meminta petunjuk kepada sejumlah Kiai di banyak kesempatan.
Suatu ketika misalnya, Bung Karno pernah melawat ke Perguruan Perguruan Darul Funun el Abbasiyah (DFA) di Puncakbakuang, Padang Japang, yang diampu Syekh Abbas dan Syekh Mustafa Abdullah.
Kebesaran kedua Syekh yang bersaudara tersebut membuat Sukarno, yang baru saja terbebas jadi orang interniran, merasa perlu sowan. Syekh Abbas dan Syekh Mustafa adalah murid ulama Minangkabau terkemuka di Makkah, Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi.
Kedekatan Sang Orator tentunya bukan sebuah siasat untuk memenuhi kepentingan duniawi, melainkan meraup barokah serta nilai-nilai spiritualis yang melekat pada ulama-ulama terkemuka tersebut.
Pun semasa perang kemerdekaan pun. Bung Karno kerap sowan ke KH As’ad, KH Wahab Chasbullah, dan terutama KH Hasyim Asy’ari.
Bahkan Resolusi Jihad hasil ijtihad Mbah Hasyim lah yang meyakinkan Bung Karno untuk mengumandangkan perang terbuka menghadapi Agresi Militer Belanda II.
Resolusi Jihad dicetuskan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 itulah yang kemudian diperingati sebagai Hari Santri saban tanggal 22 bulan sepuluh.
Sesudah menjabat presiden pertama Indonesia, bersama para pinisepuh NU tersebut, Ir Sukarno tak sungkan membantu perkembangan organisasi ulama terbesar dalam skala dunia itu.
Di lain kesempatan, pengangkatan sosok Kiai Ahmad Basyari menjadi Menteri Dalam Negeri pertama RI, juga merupakan bentuk kedekatan bung Karno kepada seorang ulama. Ia mengagumi keberhasilan putra Madura tersebut sebagai seorang negarawan dan pembentuk kebijakan.
Sukarno nyantri di Kiai Ahmad sudah dilakukan sejak ia muda, Sukarno muda seringkali menemui Kiai Ahmad untuk memperdalam ilmu agamanya.
Sukarno percaya, putra Madura sekaligus murid KH Hasyim Asy’ari tersebut adalah guru yang tepat baginya.
Begitu juga menjelang Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Bung Karno dan Bung Hatta terlebih dulu sowan kepada para tasawwuf yang mukasyafah (terbuka mata batinnya) seperti dilansir dari nu.or.id.
Empat ulama tersebut adalah Syeikh Musa dari Sukanegara, CIanjur, KH. Abdul Mu’thi dari Madiun, Sang Alif atau Raden Mas Panji Sosrokartono yang sudah mukim di Bandung, serta Hadratusysyekh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, Jombang (pendiri NU).
Pada sebuah kesempatan emas, HOS Cokroaminoto, pernah mengajak Sukarno remaja menemui Syekhona Cholil Bangkalan. Saat itu, Sukarno muda ditiup ubun-ubunnya oleh guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asy’ari, tersebut. Menjadikannya momen yang penuh berkah bagi Sang Orator yang kemudian menjadi bapak bangsa tersebut. (ftr/hs)
Artikel ditulis oleh Fathir dalam program magang jurnalistik kehumasan di Unit Media DPD PDI Perjuangan Jatim.
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS