Bola Tangkap: Kenangan, Permainan dan Mantera

Loading

anak-anak - bolaOleh: Set Wahedi

KENAPA kenangan begitu berharga? Jawabannya kira-kira begini. Di pekan terakhir bulan April, Rabu menapak sore renyah Nambakor ketika bus rute Bungurasih-Terminal Arya Wiraraja memuntahkan tubuhku. Sisa hujan semalam membubungkan bau apak tanah pegaraman. Tangan saya melambai pada tukang ojek di warung tepi jalan. Orang tua, kira-kira berusia 50-an, mendekat.

“Ke mana, Mas?”

“Pinggir Papas”.

Lalu, ke arah matahari terbit kami melaju. Motor keluaran tahun 2002 menderam-deram. Berulang batuknya mengesankan usianya yang renta. Meski begitu, motor itu dipaksa melaju 50-60 km/jam.

Di tengah sengatan matahari pukul setengah tiga, motor melaju lepas. Selepas angin paminian menelusup perlahan. Menikmati angin yang sepoi, ingatan sedikit kendor. Tak terasa pompa besar peninggalan zaman kolonial di kiri jalan sudah terlampaui. Raut kusamnya menunjukkan kepapaan anak negeri ini merawat ingatan sejarah. Pompa besar yang difungsikan untuk memompa air dari sungai ke paminian hanya dihisap ‘tenaganya’ saja. Selebihnya, gedung-degung yang dibangun dengan keringat kuning dan jerit tangis para pekerja rodi dibiarkan mengelupas begitu saja. Huh, ke mana saja para pelayan rakyat itu?

Mendekati masjid Khairul Jannah, tukang ojek menurunkan tarikan gasnya. Motornya berdehem berat. Masih di sebalah kiri jalan, suara toa bertalu-talu. Sesekali melengking. Beberapa istilah yang sedikit aneh mengambang di udara: tanang sittung, walkit, tèkkang, nambhu, dan lainnya dan lainnya. Pemilik suara dalam toa ternyata bersembunyi di balik kekes yang disusun mengelilingi tanah lapang di depan masjid.

“Ini acara apa Pak?”

“Bal buḍi.”

Saya dan Pak Ojek seperti tak punya kalimat-kalimat panjang. Percakapan berlangsung singkat. Berulang saya gagal untuk menyambung percakapan lebih dari dua pertanyaan. Bola tangkap, seru saya diseret masa lalu: masa kanak-kanak usia 11 tahun (1997). Ya, permainan bola tangkap itu tiba-tiba menggelinding dalam kepala saya. Saya pun terlempar ke masa usia 11 tahun. Sebelum Pak Ojek menikung ke kanan di pertigaan bekas pasar, saya memutuskan berhenti di lapangan bola tangkap.

Setelah menyelesaikan urusan dengan Pak Ojek, saya berdiri tegap dengan kelusuhan mencengkeram bahu. Sejenak saya mengenali tataan kekes, area parkir sepeda motor dan orang-orang yang berbaris dalam antrean di depan loket. Saya lalu menghambur dalam antrean. Saya berdiri di baris ketiga dari antrean yang renggang sore itu. Untuk bisa masuk ke area lapangan, saya merogoh dua ribu rupiah (pada waktu usia saya 11 tahun, karcis masuk hanya 300 rupiah).

Di sekitar area pertandingan, saya benar-benar menemukan usia 11 tahun saya. Saya tak peduli dengan lelah yang menggayuti pori-pori tubuh. Berulang saya menyaksikan kelebat masa kecil saya. Saya berlari-lari di antara para penonton yang mulai merapat ke pembatas antara lapangan dan penonton. Saya mencari celah yang bisa saya masuki, untuk menyaksikan pertandingan lebih dekat.

Sekitar sepuluh menit, masa kecil saya berkelebat. Suara toa kembali memecah udara sore yang mulai mengeras. Umbul-umbul di sudut-sudut area pertandingan berkibar. Ini yang beda, aku menggerutu sendiri. Penyelenggaraan turnamen bola tangkap pada masa usia 11 tahunku tidak bersponsor. Hadiah dan uang lelah panitia diambil dari karcis pertandingan dan uang pendaftaran setiap tim atau Persatuan Bolang Tangkap (PBT).

Setelah mendapatkan tempat di pojok kiri belakang lapangan, saya baru tahu saya masuk ke area lapangan pada ujung pertandingan pertama. Pada hari itu, ada empat PBT yang bertanding, yaitu Jaya Sakti (Pinggir Papas), Sapu Jagat 51 (Kalianget Timur), Krisna Putra Dewa (Karang Anyar) dan Semar Mesem (Talango). Pertandingan pertama yang mempertemukan Jaya Sakti vs Sapujagat 51 dimenangkan oleh Sapujagat 51 dengan skor akhir 3:6 atau tabâ (tanang tello’) vs tandhuk (tanang enném). Sementara pertandingan kedua, antara Krisna Putra Dewa vs Semar Mesem, dimenangkan oleh tim Krisna Putra Dewa dengan skor 6:0.

Jeda antara pertandingan pertama dan pertandingan berikutnya, sekitar sepuluh menit. Pada setiap pertandingan, mula-mula kedua tim dipanggil untuk memasuki lapangan. Panggilan pertama ini berlaku lima menit. Setelah lima menit pertama ini, kedua tim belum masuk lapangan, akan dilakukan pemanggilan kedua. Pada panggilan kedua, biasanya salah satu atau kedua tim memasuki lapangan.

Dalam memasuki lapangan pertandingan, setiap tim biasanya melakukan ritual tertentu. Ada tim yang masuk dari sebelah kiri, sebelah kanan, belakang atau pun dari depan lapangan. Depan dan belakang lapangan ditentukan dengan posisi tempat nambhu atau memukul (service). Tempat nambhu merupakan depan lapangan.

Ritual lainnya yang sering dilakukan oleh setiap tim, mengitari area lapangan pertandingan, menaburkan bedak, beras, atau abu yang berisi mantera. Para pemain pun juga mengucapkan mantera-mantera dengan tujuan tertentu. Beberapa mantera yang familiar di kalangan para pemian bola tangkap: mantera nus gharita (cumi-cumi gurita). Mantera ini dipakai oleh para penerima dengan tujuan agar cekatan menangkap bola dan bola tidak mudah lepas. Mantera bellu’ lècèn (welut licin). Mantera ini digunakan oleh pemukul dengan tujuan agar bola yang dipukul tidak bisa ditangkap; dan mantera lainnya dan lainnya. Dalam hal ini, bola tangkap bukan sekadar permainan adu ketangkasan menangkap dan kecakapan memukul bola. Akan tetapi juga perhelatan kemampuan bermain mantera.

Permainan bola tangkap dalam turnamen “resmi” dapat dimainkan dengan (atau oleh) 14, 12, 9 atau 7 orang pemain dalam satu tim. Beberapa istilah yang menyangkut posisi para pemain antara lain, (1) pangeco’. Posisi ini ditempati dua pemain dalam permainan dengan 14 atau 12 pemain.

Dua pemain ini berada di dekat jaring (net). Dua pemain ini berfungsi untuk mengantisipasi pukulan yang dilakukan dengan pelan, dengan tujuan untuk mengecoh; (2) kapten pertama. Pemain ini menempati posisi tengah di antara dua pemain di baris depan; (3) pemain sayap. Posisi ini terdiri atas dua orang, yaitu sayap kanan dan sayap kiri. Dua pemain ini berdiri sejajar di sebelah kanan-kiri kapten pertama; (4) kapten dua. Posisi pemain ini berada di belakang kapten pertama; (5) panyompet pertama. Posisi ini terdiri atas dua pemain, yaitu panyompet kanan-kiri. Dua pemain ini posisinya berdiri sejajar dengan kapten dua; (6) kapten tiga. Kapten tiga ini digunakan pada permainan dengan anggota tim 14 atau 12 pemain; (7) panyompet kedua. Seperti halnya penyompet pertama, panyompet kedua ini terdiri atas dua pemain dan berdiri sejajar dengan kapten tiga; (8) bunto’-kala. Pemain ini menempati posisi paling belakang; (9) ber-ghiber. Posisi ini diperankan oleh dua pemain. Dua pemain ini berada di luar garis area pertahanan dan bertugas untuk mengingatkan para penangkap agar tidak lengah. Ber-ghiber ini digunakan pada permainan dengan 14 atau 12 pemain.

Aturan permainan ini cukup sederhana. Tim panambhu (pemukul) mula-mula memukul atau melempar bola dengan cara memunggungi lawan. Posisi ini dikenal dengan balbuḍi. Kalau di antara salah satu anggota tim bisa menembus pertahanan lawan, posisi balbuḍi akan berubah menjadi ngotap, yaitu memukul bola dengan menghadapi lawan. Tim panambhu memukul bola dengan satu tangan, baik kiri maupun kanan. Seorang pemukul diharapkan memukul bola sekeras-kerasnya agar lepas dari tangkapan tim lawan.

Bola yang dipukul itu diarahkan ke area pertahanan tim lawan. Area pertahanan ini ditandai oleh garis line dengan panjang 15 meter dan lebar lima meter. Di antara posisi orang pemukul dan penerima, terpasang jaring atau net setinggi 120-150 cm. Orang pemukul harus mampu memukul bola dengan melewati net dan masuk di dalam garis area pertahanan. Jarak antara posisi pemukul dan jaring (net) berkisar 6-7 meter.

Sore itu, permainan bola tangkap masih seperti permainan bola tangkap pada usia 11 tahun saya. Para pemainnya masih menggunakan gelang benang, cincin benang, mengitari lapangan, dan membaca mantera. Sementara para penontonnya bersorak, menarik nafas dan sesekali melempari ‘olok-olok’ pada para pemain lawan tim dukungannya. Sore itu, kenangan akan bola tangkap seperti gemericik air yang memupus dahaga perjalanan. Dahaga itu semakin tunai saat sebelum pertandingan dimulai, kedua tim melakukan sesi pemotretan. Sesi yang tidak saya temukan pada bentangan usia 11 tahun saya. Kecuali sesi pemotretan, permainan bola tangkap sore itu juga diabadikan dalam rekaman video hand-phone oleh beberapa penonton. Dan di antara lalu-lalang ratusan kepala seusai pertandingan, saya melihat masa kecil saya berlarian di tepi jalan.

Masa kecil saya berlarian dengan harapan membubung, semoga turnamen bola tangkap ini dilaksanakan secara rutin. Dan semoga pemerintah (:menpora) punya perhatian untuk melestarikan permainan tradisional ini.  (*)

*Esais tinggal di salametwahedi@gmail.com dan @set_wahedi