Lebih Dekat Dengan Cawagub Puti Guntur Soekarno (Bagian-3)
“SAYA bukan hanya keturunan biologis Bung Karno. Lebih penting lagi, saya adalah keturunan ideologis Bung Karno.”
Pernyataan itu disampaikan Puti Guntur Soekarno, Calon Wakil Gubernur Jawa Timur nomor urut 2. Di banyak kesempatan Puti menegaskan itu. Dan, di Jawa Timur, Ia menemukan saudara dan teman seideologi, kaum marhaenis, pecinta Soekarno, kaum nasionalis.
Pertanyaannya, dari mana Puti Guntur mempelajari pikiran-pikiran mendiang kakeknya, Bung Karno, juga segenap kiprah perjuangannya? Tahap awal, guru pertama tentu ayahnya, Guntur Soekarno. Dialah orang yang memperkenalkan. “Karena saya tidak pernah menjumpai sendiri Eyang Karno,” kata Puti.
Narasumber lain adalah Ibu Fatmawati, istri Bung Karno, nenek Puti, di mana hubungan dirinya begitu dekat. Begitu pula putra-putri Bung Karno yang lain, yang menjadi “bu lik dan pak lik” atau tante dan om, turut memperkaya khazanah pengetahuannya tentang Bung Karno.
“Bu Fatmawati adalah juga sahabat Bung Karno, yang masih hidup saat saya masih kecil. Bu Fat adalah figur yang menemani Bung Karno di semua gerak perjuangan, sejak menikah 1 Juni 1943,” kata Puti.
Karena itu Bu Fat menjadi “sumber hidup” yang penting bagi Puti untuk mengenali gelora perjuangan bangsa Indonesia menjelang kemerdekaan, saat proklamasi, dan menjaga kemerdekaan. Bu Fat pula yang menceritakan betapa dalam dan sangat sentralnya peran sang kakek, Bung Karno, dalam perjalanan bangsa Indonesia.
Dari Bu Fat, Puti mendengar langsung bagaimana sejarah bendera pusaka merah-putih dijahit tangan. Asalnya dari dua lembar kain, merah dan putih, pemberian perwira Jepang yang simpati dengan perjuangan bangsa Indonesia.
“Ketika itu, Ibu Fat mengandung ayah saya, Guntur Soekarno (putra sulung Bung Karno, Red). Karena mendampingi Bung Karno dalam pergerakan, dan karena jiwa progresif beliau sebagai perempuan, dua lembar kain itu dijahit tangan, disatukan, menjadi bendera merah-putih,” ujar Puti.
Puti menceritakan hal itu di Kota Madiun, ketika Rapat Kerja PDI Perjuangan, 5 Februari 2018. Hari itu tepat 95 tahun kelahiran Bu Fatmawati. Suara Puti bergetar. “Seolah-olah beliau hadir di sini,” kata Puti saat itu. “Ibu Fat bercerita, Puti… insya Allah, nanti bendera ini akan dikibarkan ketika suamiku, Bung Karno, memproklamirkan kemerdekaan. Dan, itulah yang terjadi,” kenang Puti menirukan neneknya.
Kemudian, Puti Guntur merenungkan kisah penyatuan merah-putih oleh Bu Fat dengan penugasan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri kepada dirinya untuk menjadi calon wakil gubernur, mendampingi Gus Ipul, kader NU.

“Tugasmu tidak main-main, yaitu merajut merah putih. Agar dari Jawa Timur bisa dirajut merah putih untuk Indonesia. Inilah tugas kebangsaan kita bersama,” kata Megawati kepada Puti.
Di tahap awal, keluarga memang menjadi narasumber pengetahuan bagi Puti Guntur, yang penting, dan hidup, tentang segala hal menyangkut figur Bung Karno dan ajaran-ajarannya. Dari keluarga pula, jiwa kebangsaan Puti tumbuh dan mekar.
Tahap berikut adalah memperkaya referensi, memperkuat sumber-sumber dari keluarga, atau memperbandingkan berbagai informasi tentang Bung Karno. Terutama saat mahasiswa FISIP UI, Puti berkesempatan menyelami lebih dalam lagi kakeknya.
Ia selami tulisan-tulisan Bung Karno yang tersusun dalam buku “Di Bawah Bendera Revolusi”, yang begitu tebal. Bagi mahasiswa sospol, buku itu bacaan wajib untuk mengenali gagasan-gagasan penting yang membentuk Indonesia.
Surat-Surat Merah Guntur
Proses pengayaan pengetahuan itu terus dilakukan tanpa henti. Ia juga terlibat diskusi dengan berbagai pihak. Tentu ayahnya, Guntur Soekarno, menjadi teman diskusi yang baik. “Saya banyak belajar mendapatkan dari buku dan cerita. Dari Youtube, dari film-film. Yayasan Bung Karno banyak film-film, termasuk dokumenter,” kata Puti.
Ayahnya, Guntur Soekarno, sering membuat tulisan-tulisan, kemudian dimasukkan dalam map merah. Surat-surat itu diberikan kepada Puti. “Kebiasaan itu terus berlangsung sampai kini,” kata Puti Guntur.
Surat-surat itu berisi pandangan dan pemikiran politik Guntur atas momen-momen sosial politik penting di tanah air. “Saya beri nama Surat Merah. Karena ditulis bertahun-tahun, sekarang numpuk. Map merah tempat menyimpan surat-surat itu pun sudah penuh,” tutur Puti.
Meski tidak terjun ke politik praktis, Guntur Soekarno adalah juga seorang politisi. Ia aktif mengamati setiap kejadian sosial politik di negeri ini. Semula ia diperkirakan menggantikan Soekarno, ayahnya. Kemunculan Guntur sempat menghebohkan ketika menjadi juru kampanye PNI di Jawa Timur, pada Pemilu 1971.
Orang-orang tua di Jawa Timur masih banyak ingat, betapa gaya pidato Guntur menggelegar seperti bapaknya. Namun, di tahun-tahun itu, rezim militer Orde Baru memberi tekanan keras, intimidasi, dan menghalang-halangi Guntur tampil.

Kampanye PNI sering tidak terlaksana. Sejak itu, Guntur Soekarno jarang muncul di publik. Ia memutuskan tidak tampil di panggung politik. Sampai sekarang.
November 2012, Guntur Soekarno meluncurkan buku berjudul Bung Karno: Bapakku, Kawanku, Guruku, berisi 26 kisah dia bersama ayahanda, Soekarno. Yang menerbitkan buku itu adalah Puti Guntur Soekarno. “Dikemas dalam bahasa segar, ringan, juga diselingi canda dan tawa,” kata Puti
Dari pendalamannya yang panjang, Puti Guntur tentu menyelami Marhaenisme, ideologi dasar yang diletakkan Bung Karno semasa muda. Ajaran ini menjadi pisau analisis atas jutaan nasib rakyat kecil, wong cilik, yang memiliki alat produksi seadanya. Mereka menjadi korban ketidakadilan dari struktur politik, sosial dan budaya di atasnya.
Marhaenisme juga menjadi landasan politik bagi para pengikut Bung Karno untuk melakukan pergerakan, perjuangan dan pembelaan terhadap wong cilik. “Itulah yang membuat Bung Karno dekat rakyat kecil. Itu yang saya kagumi dari beliau,” kata dia.
Puti juga menyelami cita-cita politik Bung Karno yang nasionalistik, tentang negara besar bernama Indonesia Raya. Ia juga memahami, seluruh cita-cita negara besar itu secara dasar dirumuskan dalam Pancasila, yang digali kakeknya.
Di negara besar itu terdapat banyak ragam lapisan masyarakat yang harus dilindungi dan dimajukan negara. “Maka, perlindungan terhadap keragaman masyarakat menjadi penting. Bhinneka Tunggal Ika adalah bagian penting dari dari Pancasila,” kata dia.
“Yang juga saya suka dari sosok Bung Karno, dalam pikirannya, mempunyai jiwa nasionalis,” kata dia. Ia juga mengenali kakeknya punya keberpihakan jelas pada rakyat kecil, dengan rekam jejak perjuangan yang panjang dan nyata.
Ia menyebut tulisan penting Bung Karno ‘Indonesia Menggugat’ yang disusun di bawah tahanan pemerintah kolonial Belanda di Bandung. Ia melihat kakeknya telah bisa memprediksi bahwa sistem kapitalisme bisa menjerat suatu bangsa. “Prediksi itu sudah ditulis di Indonesia Menggugat yang menjadi pidato pembelaan beliau dalam persidangan Landraad (pengadilan negeri) Bandung, tahun 1930,” kata Puti.
Semakin dalam menyelami Bung Karno, ia sampai pada kesimpulan, kakeknya adalah seorang ideolog. “Bung Karno bisa menyaring semua yang ada di bumi indonesia, dijadikan satu dalam ideologi, dan dasar kita bermasyarakat, berazas dan bernegara,” tandas Puti. (jp)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS