JAKARTA – Wakil Ketua MPR RI Dr Ahmad Basarah MH berharap agar perayaan Imlek atau tahun baru warga keturunan Tionghoa, dapat meperkokoh semangat persatuan Indonesia dengan seluruh keanekaragaman suku, budaya, etnis, agama, dan bahasa.
“Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri sangat menjunjung tinggi semangat persatuan dan kebangsaan sebagaimana tercantum dalam sila ketiga Pancasila. Sehingga didorong tercipta dan tercapai kesetaraan untuk semua warga Indonesia, termasuk etnis Tionghoa,” jelas Ahmad Basarah di Jakarta, Minggu (22/1/2023).
Perjalanan Imlek di Indonesia, terangnya, memiliki sejarah panjang untuk bisa dirayakan dengan leluasa seperti saat ini. Pada tahun 1946, Presiden pertama RI Soekarno menerbitkan Penetapan Pemerintah tentang Hari-hari Raya Umat Beragama, No.2/OEM-1946.
Pasal 4 Penetapan Pemerintah tersebut menjelaskan empat hari raya warga Tionghoa. Yakni tahun baru Imlek, hari wafat Khonghucu (tanggal 18 bulan 2 Imlek), Ceng Beng, dan hari lahir Khonghucu (tanggal 27 bulan 2 Imlek).
“Namun di era Presiden Soeharto, terjadi pembatasan perayaan Imlek. Situasi ini kemudian berubah di era reformasi,” bebernya.
Pada era kepemimpinan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur kemudian mencabut aturan pembatasan tersebut, karena tak ingin ada diskriminasi terhadap warga Tionghoa melalui Keputusan Presiden (Keppres) No.6/2000 tentang pencabutan Inpres No.14/1967.
Masyarakat Tionghoa kemudian diberi kebebasan untuk menganut agama, kepercayaan, dan adat istiadatnya, termasuk merayakan upacara-upacara agama seperti Imlek dan Cap Go Meh secara terbuka.
Pada era Gus Dur juga melalui keputusan Menteri Agama lahir Keputusan No.13/2001 tentang penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif pada 19 Januari 2001.
Adapun perayaan Imlek sebagai Hari Libur Nasional, baru dilakukan pada era Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri, melalui Keppres Nomor 19 Tahun 2002.
“Kebijakan Presiden Abdurrahman Wahid menghapuskan larangan merayakan Imlek pada tahun 2000 disempurnakan oleh Presiden Megawati melalui Keppres Nomor 12 Tahun 2002. Keppres yang memberi kesempatan pada masyarakat Tionghoa merayakan Imlek karena hari tersebut ditetapkan sebagai libur nasional,” jelas dosen pascasarjana Universitas Islam Malang itu.
“Kebijakan menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional dapat disebut sebagai bentuk keberpihakan Megawati terhadap kelompok minoritas. Dalam hal ini masyarakat Tionghoa,” sambung Basarah.
Oleh sebab itu, dia memandang perjalanan historis perayaan Hari Raya Imlek di Indonesia yang cukup panjang dapat menjadi seruan bagi seluruh rakyat Indonesia terus saling menghargai budaya dari suku, etnis, ras, dan agama lain.
“Ibu Megawati menetapkan hari Imlek sebagai hari libur nasional agar kita memahami seluruh khazanah kebudayaan kita yang terbentuk bukan tunggal, tetapi sangat heterogen dan membentuk satu watak, satu kultur bangsa Indonesia, satu Indonesia,” terang Ketua DPP PDI Perjuangan itu.
Basarah berharap tahun 2023 yang ditandai dengan Shio Kelinci dalam astrologi Tionghoa, Indonesia bersiap menghadapi potensi krisis ekonomi ataupun resesi global yang bisa berdampak terhadap Tanah Air.
“Kepada umat Konghucu, PDI Perjuangan mengucapkan selamat tahun baru Imlek,” pungkas Basarah. (ace/pr)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS