SURABAYA – Anggota Komisi C DPRD Kota Surabaya Sukadar berharap Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Penanggulangan Banjir mampu mencegah banjir terjadi di Kota Pahlawan.
“Perda banjir ini inisiatif dewan, bukan lahir dari eksekutif, Surabaya ini penyakitnya sudah tahu, anggaran APBD pun ada,” ucap Sukadar yang menjadi ketua Panitia Khusus (Pansus) Raperda Penanggulangan Banjir saat ditemui, Rabu (19/2/2025).
“Harapan saya sebagai Ketua Pansus Banjir di Kota Surabaya, tidak ingin ada omongan sudah biasa Kota Surabaya itu banjir. Tahun 2026 saya harap tidak ada omongan seperti itu dari masyarakat kalau Surabaya jadi langganan banjir,” imbuhnya.
Salah satu fokus pembahasan Raperda itu, sebutnya, agar banjir di Kota Surabaya bisa tertangani dengan lebih baik. Sukadar pun menjelaskan bahwa kurang lebih ada empat faktor yang menyebabkan banjir di Surabaya masih belum bisa teratasi.
“Solusi, penyakitnya dan persoalannya tahu, di antaranya air hujan, air rob, air kiriman dan kesadaran masyarakat membuang sampah sembarangan yang mengakibatkan banjir itu saat ini sesuai perkataan Pak Wali Kota sudah disiapkan anggaran Rp 1,4 triliun untuk mengatasi banjir di Kota Surabaya,” tuturnya.
Di antaranya adalah permasalahan drainase yang belum terhubung secara sepenuhnya menyebabkan aliran air tidak berjalan maksimal.
“Pertama soal hujan, jadi ketika hujan solusinya bagaimana, ya kita bangun drainase ini dari hulu sampai hilir, membangun drainase tidak bisa kita bangun secara separatis, harus terkoneksi dari hulunya di kampung sampai hilirnya, sehingga tidak parsial-parsial,” ujarnya.
Sukadar pun mencontohkan pembangunan drainase di Petemon yang berdampak positif mengurangi bahkan mencegah banjir.
“Petemon bisa menjadi percontohan, di sana langganan banjir namun ketika kita kerjakan penyelesaian permasalahan disana yaitu kiriman air hujan, maka dibangun drainase dari hulu hingga hilirnya. Setelah dua kali hujan deras Surabaya Petemon ini tidak banjir,” ungkap Sukadar.
Faktor kedua, lanjut Sukadar, perlu adanya pembangunan tanggul atau dinding laut serta resapan di sekitar lokasi tersebut agar potensi banjir rob bisa diminimkan.
“Kedua banjir rob agar saat pasang tidak masuk kedalam kampung ya kita bikinkan tanggul atau dinding lautnya untuk menahan air tersebut. Selain itu perlu ada sumber resapan supaya posisinya benar-benar aman, sehingga air bisa ditahan oleh tanggul laut, sedangkan yang seandainya meluber, di sana resapan,” jelasnya.
Ketiga ialah faktor air kiriman yang asalnya merupakan dari daerah lain, bagi Sukadar perlu adanya peran serta Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jatim yang mampu mengkoordinasikan antar daerah terkait penanggulangan banjir.
“Air kiriman ini yang agak berat karena gak mungkin Wali Kota Surabaya mengundang bupati daerah lain karena jabatannya yang setara. Sehingga perlu ada jembatan atau fasilitator yang mengkoordinasikan antara pemerintah Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto, Kota Mojokerto, Kabupaten Jombang, duduk bersama,” ungkapnya.
“Saya yakin kepala daerah punya ego dan mengamankan wilayah masing-masing sehingga ini perlu duduk bersama dan peran daripada Ibu Gubernur untuk menjembatani supaya ada solusi agar aliran air ini lancar hingga mengalir ke laut,” terangnya.
Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) juga diharapkan mampu bertindak lebih cepat dalam menanggulangi risiko banjir melalui normalisasi sungai. Sukadar pun mencontohkan Pemkot Surabaya akhirnya harus bertindak turun membantu agar normalisasi sungai bisa dilaksanakan.
“Waktu itu perbatasan Surabaya dan Sidoarjo yang sebenarnya ranah dari BBWS, namun Walikota Surabaya dengan tangan terbuka menginstruksikan kepada dinas terkait untuk membersihkan eceng gondok karena ini menghambat saluran air dari atas (daerah lain) yang akhirnya aliran air tidak bisa sampai ke laut dan kembali lagi (meluber),” ungkapnya.
“Kenapa kemarin di Surabaya air tidak bisa masuk ke laut karena normalisasi hanya di sebatas hulunya, tapi menuju ke laut belum ada normalisasi dan terhalang eceng gondok,” lanjut dia.
Keempat, kesadaran masyarakat soal pentingnya tidak membuang sampah menjadi faktor penting. Sebab banyak terjadi banjir yang diakibatkan oleh banyaknya sampah yang menumpuk dan mengakibatkan buntunya saluran drainase.
“Yang terakhir kesadaran masyarakat jangan sampai membuang sampah di kali, banyak warga membuang sampah sembarangan ini yang mengakibatkan banjir,” jelasnya.
Sukadar pun menghimbau para pedagang kaki lima (PKL) untuk turut tidak membuang sisa dagangan ataupun sampah makanan ke dalam drainase untuk mencegah terjadinya banjir serta perlu adanya sanksi bagi pelanggar bagi warga masyarakat yang membuang sampah sembarangan.
“Terutama para PKL yang berjualan di atas drainase, agar tidak membuang sampah ataupun makanan sisa ke sela drainase. Jangan hanya pulang membawa uangnya saja, tapi sisa dagangan atau sampahnya ya dibersihkan dan dibawa pulang, intinya sama-sama menjaga,” tuturnya.
Politisi PDI Perjuangan itupun menegaskan pentingnya sanksi dalam Raperda Penanggulangan Banjir agar terdapat efek jera bagi masyarakat yang melanggar.
“Terkait sanksi pembuangan sampah sembarangan di Kota Surabaya yang saat ini sangat ringan, sanksi sosial dibutuhkan misal ketika terbukti melanggar diberikan sanksi harus membersihkan atau normalisasi disana,” tegasnya.
Ia pun berharap agar tidak ada dampak daripada efisiensi anggaran terhadap pengerjaan penanggulangan banjir di Kota Surabaya. Serta perlu adanya pengerjaan berdasarkan skala prioritas sehingga dapat dikerjakan secara maksimal. (gio/pr)
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS