Oleh M. Eri Irawan*
SEHARUSNYA Wiji Thukul berulang tahun hari ini dan masih menulis puisi. Membacakannya dengan tanda seru. Dengan lidahnya yang cadel yang tak mampu menutupi kemarahannya terhadap kemiskinan, pembelaannya terhadap mereka yang dipinggirkan, juga kerisauannya terhadap ketidakadilan.
Wiji Thukul adalah wajah dari mereka yang percaya bahwa ketertindasan harus dilawan, termasuk dengan kata-kata. Dia adalah Paman Doblang dalam puisi WS Rendra yang tak hanya “minum air dari kaleng karatan”, tapi juga meneriakkan bahwa “perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata”. Dan mungkin karena itu, dia diculik pada sebuah hari yang nahas dan tak kembali.
Wiji Thukul dilahirkan dengan nama Widji Widodo, di Solo, Jawa Tengah, pada 26 Agustus 1963. Ayahnya seorang penarik becak. Ibunya sesekali berjualan ayam bumbu. Dia lekat dengan kemiskinan, namun “keberanian” adalah nama tengahnya. Wiji Thukul tahu, hidup untuk diperjuangkan, bukan untuk dikeluhkan.
Pernikahannya dengan Siti Dyah Sujirah alias Sipon pada 1989 dikaruniai dua anak: Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah. Di sela-sela pekerjaannya sebagai buruh pabrik pelitur, dia melatih teater dan melukis bersama warga Kampung Jagalan, tempatnya tinggal. Dia mengajarkan kepada orang banyak untuk menyuarakan hidup mereka. “Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan, di sana bersemayam kemerdekaan,” kita selalu mengingat petikan ‘Sajak Suara’ ini.
Saat Rezim militer Orde Baru memaksa diam, Wiji Thukul menyiapkan pemberontakan melalui kata-kata, sajak, juga tindakan. Ia berada di tengah aksi massa yang memprotes pencemaran lingkungan pabrik tekstil, dan di antara para buruh yang memperjuangkan hak mereka.
Mobil aparat keamanan menghantam matanya. Namun ia tidak menyerah. “Puisiku bukan puisi tapi kata-kata gelap yang berkeringat dan berdesakan mencari jalan. Ia tak mati-mati meski bola mataku diganti,” serunya dalam “Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa”.
Aktivitasnya sebagai Ketua Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jaker) membuatnya masuk daftar target rezim. Ia tak sendiri. Sejumlah aktivis lintas ideologi dibidik karena dianggap mengganggu stabilitas negara. Wiji Thukul bukannya tak tahu kalau namanya cukup nyaring di telinga penguasa. “Aku bukan artis pembuat berita tapi memang aku selalu kabar buruk buat para penguasa,” katanya dalam sajak “Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa”.
Dan Wiji Thukul tak gentar. “Jika kau menghamba kepada ketakutan, kita memperpanjang barisan perbudakan,” katanya dalam sajak “Ucapkan Kata-Katamu”.
Namun rezim Orde Baru bukanlah rezim yang sabar. Tentara hanya menunggu waktu untuk menciduk para aktivis demokrasi, termasuk Wiji Thukul. Setelah peristiwa 27 Juli 1996, penyerbuan terhadap kantor PDI, ia tak lagi aman dan menjadi pelarian di negerinya sendiri. Tidak karena mencuri atau mencopet, tapi karena menyuarakan kegelisahan mereka yang lama tak didengarkan.
Soeharto akhirnya turun dari kekuasaannya pada Mei 1998. Massa yang marah, mahasiswa yang bersemangat, dan ketidaksetiaan orang-orangnya tak bisa lagi dikendalikan Sang Jenderal. Dia tahu hari-harinya sudah berakhir. Senja kala sudah tiba.
Orang-orang bersorak. Demokrasi telah dipulihkan di negeri ini. Namun Wiji Thukul tidak pernah kembali. Hingga sang istri, Sipon, meninggal dunia lpada Kamis, 5 Januari 2023.
Kini, Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah masih mencari jawaban atas pertanyaan sederhana: ke mana lelaki yang kami cintai, siapa yang harus bertanggung jawab atas kerinduan kami, ke mana tentara yang berderap menutup mata dan menyumpal mulutnya.
Bukankah seharusnya ada yang bertanggung jawab? Pertanyaan itu hanya membentur angin. Hingga kini. (*)
*Wakil Ketua DPC Banteng Muda Indonesia, Kota Surabaya
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS