Lahir di tengah kondisi kemiskinan, bapak-ibunya memberikan nama: Kusno. Sakit-sakitan hingga di ambang kematian, nama diubah jadi Sukarno. Doa orangtua, kelak jadi pahlawannya rakyat.
PROKLAMATOR kemerdekaan sekaligus Presiden Pertama Republik Indonesia, Sukarno, lahir bukan dari kalangan berpunya. Ia lahir di sebuah rumah yang disewa orang tuanya, di gang sempit Pandean, Surabaya.
Kini, secara adminsitrasi, rumah kelahiran Bung Karno beralamat di Jl Pandean Gang IV Nomor 40 Kecamatan Genteng, Kota Surabaya.
Rumah tak jauh dari kali atau sungai Peneleh tersebut terbilang sempit. Tanpa teras apalagi halaman. Pintu depan berimpit dengan jalan gang. Di rumah itu, balita Sukarno tinggal di kamar yang sempit pula. Sementara tempat tidurnya, dari ranjang bambu.
“Aku dilahirkan di tengah-tengah kemiskinan dan dibesarkan dalam kemiskinan,” kata Sukarno dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, tulisan Cindy Adams.
“Aku tidak memiliki sepatu. Aku tidak mandi dalam air yang mengucur dari kran. Aku tidak mengenal sendok dan garpu”.
Di rumah itu, Sukarno lahir pada 6 Juni 1901, selepas subuh saat sang surya mulai menampak di ufuk timur. Waktu kelahirannya, Bung Karno dapatkan dari cerita sang ibunda.
“Ibu melahirkanmu saat fajar menyingsing. Kita orang Jawa memiliki kepercayaan, bahwa seseorang yang dilahirkan saat matahari terbit, nasibnya telah digariskan sebelumnya.”
“Jangan sekali-kali kau lupakan, nak, bahwa engkau ini putra sang fajar,” kata Sukarno menirukan perkataan ibunya.
Saat lahir, orang tua Sukarno memberinya nama Kusno Sosrodiharjo. Sejak kecil Kusno kerap sakit-sakitan. Hingga sempat di ambang kematian karena terkena penyakit tifus selama 2,5 bulan.
Karena itu, seperti kebiasaan orang Jawa jaman dulu, orang tuanya kemudian mengubah nama dari semula Kusno menjadi Sukarno, tepatnya pada usia 11 tahun.
“Namaku ketika lahir adalah Kusno. Aku memulai hidup ini sebagai anak yang sakit-sakitan. Aku terkena malaria, disentri, semua penyakit,” kata Sukarno.
“Bapak berpikir, namanya tidak cocok. Kita harus memberinya nama lain supaya tidak sakit-sakitan lagi.”
Sang bapak lantas menamainya Karna. Nama tersebut diambil dari nama panglima perang dalam cerita klasik Mahabharata.
Panglima Karna lahir dari Kunti, seorang putri cantik yang dibelai sinar cinta Batara Surya atau Dewa Matahari. Bayi Karna pun terlahir dari telinga Kunti, karena Sang Dewa tak ingin membuat malu sang putri yang masih perawan.
“Sambil memegang bahuku dengan kuat, bapak menatap mataku. Aku selalu berdoa, katanya, agar anakku menjadi seorang patriot dan pahlawan besar dari rakyatnya. Semoga engkau menjadi Karna yang kedua. Nama Karna dan Karno sama saja. Dalam Bahasa Jawa, huruf A dibaca O.”
“Awalan Su, pada kebanyakan nama berarti baik, paling baik. Jadi Sukarno berarti pahlawan terbaik. Sukarno, sejak itu, menjadi namaku yang sebenarnya dan satu-satunya.”.
Sukarno anak dari pasangan Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai. Sang bapak, Raden Soekemi, seorang guru sekolah tingkat dasar. Pertemuan Soekemi dengan Nyoman Rai terjadi saat Soekemi ditugaskan mengajar di Singaraja Bali. Nyoman Rai sendiri keturunan bangsawan Singaraja.
Rumah Kelahiran Jadi Museum, Akhiri Pembelokan Sejarah
Rumah kelahiran Bung Karno di Gang Pandean Surabaya, kini telah menjadi museum sejak ahli waris pemilik rumah menyerahkannya pada Pemerintah Kota Surabaya, tepat pada peringatan Hari Kemerdekaan RI, 17 Agustus 2020. Penyerahan dari ahli waris kepada Walikota Surabaya Tri Rismaharini.
Pengganti Risma, Walikota Eri Cahyadi, merenovasi rumah tersebut. Termasuk menambahkan sejumlah artefak pada bagian dalam rumah. Kini, rumah yang telah menjadi museum, tampak lebih terawat. Pemkot menjadikan rumah kelahiran Bung Karno sebagai salah satu dari sekian destinasi wisata sejarah di Kota Pahlawan.
Upaya dilakukan Pemkot Surabaya sekaligus meneguhkan tempat kelahiran Bung Karno adalah di Surabaya. Selama ini, sebagian masyarakat masih dibingungkan dengan informasi beredar yang menyebutkan Bung Karno kelahiran Blitar.
Berbagai sumber menyebutkan, bab informasi Bung Karno lahir di Blitar adalah upaya desukarnoisasi yang dilakukan era orde baru ketika itu. (hs)
Foto atas: Foto Sukarno pada tahun 1916, saat menjadi murid di HBS Surabaya. (repro pdiperjuangan-jatim.com – Buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia).
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS