Oleh Aryo Seno Bagaskoro*
Enam tahun lalu, dalam rahim suasana penuh kemelut, Aliansi Pelajar Surabaya (APS) lahir. Kota Surabaya, yang konsisten menjadi laboratorium kebangsaan, mulai dari garis sejarah Peneleh hingga Perang Sepuluh November, menjadi latar lahirnya organisasi perjuangan pelajar ini.
Berbekal kesadaran tentang perlunya suara pelajar mendapat tempat di telinga dan hati pengambil kebijakan, APS membangun kekuatan dari jaringan satu pelajar ke pelajar lain; mengkonsolidasikan ide dan gagasan.
Saya hadir di situasi itu, menjadi peniup peluit awal. Mengumpulkan serpihan demi serpihan kesadaran yang selalu ada di benak dan batin kawan-kawan pelajar, menunggu untuk dihidupkan. Dari bacaan demi bacaan, dari keresahan demi keresahan.
Dari situlah ditemukan kata kunci tonggak awal berdirinya APS: keresahan bersama. Kenakalan remaja yang menjauhkan dari jati diri, menjangkitnya individualisme akut, dan apatisme politik yang mengeksklusi diri dari kebijakan publik. Waktu itu, bahasa tersebut mempersatukan banyak pelajar.
Dari proses penumbuhan kesadaran yang sudah terbangun sehasta demi sehasta beberapa tahun sebelumnya, kumpulan keresahan yang hamil tua ini menemukan hulu ledaknya dalam momentum
peralihan kewenangan pendidikan menengah dari pemerintah kota ke pemerintah provinsi.
Pelajar merasa tidak diajak bicara. Padahal implikasinya mengena langsung ke ulu hati: berbagai program pendidikan pro-rakyat terancam tidak berlanjut.
Berangkat dari kondisi tersebut, pertama kalinya sejak bertahun-tahun, organisasi pelajar yang berkesadaran penuh akan hak konstitusionalnya dalam demokrasi lahir kembali. Anggotanya murni para pelajar. Ada pengurus OSIS dan MPK, aktivis lingkungan, jurnalis sekolah, koordinator suporter basket, komunitas konselor, ketua kelas, hingga para pelajar biasa.
Tidak butuh waktu lama, gelombang diskusi, aksi sosial, konsolidasi dari sekolah ke sekolah, hingga seruan melakukan beragam aksi terus berdatangan mengepung. Bendera Aliansi Pelajar Surabaya berdiri tegak.
Demokratisasi di Era Teknologi
Revolusi Industri ditandai dengan merebaknya penggunaan mesin uap di Inggris pada abad ke-18. Sejak saat itu, kemajuan demi kemajuan datang silih berganti. Mendorong dunia untuk beradaptasi dengan situasi yang kian meniadakan sekat.
Dalam era yang mengandalkan media sosial sebagai panglima, demokratisasi menjadi mantra yang tak terbantahkan. Arus distribusi informasi yang tak terbendung hingga akses pada ketersambungan yang tak terbatas merangsang banyak orang untuk terlibat aktif dalam isu-isu publik, tak terkecuali para pelajar.
Secara demografis, para pelajar masa kini adalah bagian dari generasi Z. Mereka penghuni asli habitat teknologi digital, menormalisasi harmoni toleransi sebagai nilai, dan mengenyam pendidikan sekolah.
Nilai-nilai yang meniscayakan kesadaran akan demokrasi. Sejarawan kontemporer Yuval Noah Harari berungkali mewanti-wanti tentang pentingnya transisi ke demokrasi digital untuk menyambut gelombang generasi ini.
Mengisi khazanah publik dengan gagasan akan isu-isu masa depan: keberlanjutan lingkungan, pendayagunaan sains teknologi, ekonomi sirkular, kesetaraan gender, distribusi kesejahteraan, gerakan filontrapis, dan keadilan hukum. Tanpa kehilangan dampak nyatanya, semuanya bisa dan paling mungkin terjadi di ruang digital.
Pencarian Kesadaran Sejarah
Tanpa menyingkirkan kelompok generasi yang tidak mengenyam pendidikan formal, kaum pelajar Generasi Z adalah segmentasi yang istimewa. Dengan pencarian kesadaran penuh akan tugas sejarahnya, inilah kelompok demografik yang akan menentukan arah haluan bangsa, menentukan nasib jutaan orang di masa depan, menjadi bagian dari pewaris sah negeri ini di masa yang akan datang.
Bisa jadi, kelompok inilah yang akan melahirkan minoritas kreatif (creative minority) yang digagas oleh Arnold Toynbee, mewakili generasinya dengan memimpin gagasan-gagasan inti. Ekspresi politik mereka yang bercorak baru dengan kesadaran tinggi akan nilai-nilai kehidupan yang lestari adalah karakter yang terbilang baru dalam dinamika sosial politik dunia.
Publik telah melihat kemunculan Greta Thunberg, aktivis lingkungan kelahiran 2003 asal Swedia yang menggegerkan para pemimpin dunia dengan aksi Skolstrejk för Klimatet yang menggerakkan para pelajar untuk berdemonstrasi melawan perubahan iklim.
Di belahan dunia lain ada Joshua Wong, aktivis demokrasi asal Hong Kong yang berupaya mempertahankan demokrasi di negerinya melalui wadah Scholarism, melawan pemerintah Republik
Rakyat Tiongkok.
Ada pula Malala Yousafzai dari Pakistan, aktivis pejuang HAM dan pendidikan perempuan yang tak gentar menghadapi moncong senjata Taliban. Mereka adalah bagian dari kelompok generasi ini.
Aliansi Pelajar Surabaya, adalah bagian kecil dari ikhtiar tumbuhnya kesadaran global ini. Bak jamur di musim hujan, semangat untuk tidak mau diam di hadapan proses penentuan kebijakan tumbuh mewangi merebak di benak dan hati kaum muda di seluruh dunia.
Para pelajar generasi Z ini mempersenjatai dirinya dengan media sosial. Baik untuk menghimpun informasi, membangun jejaring, hingga menyuarakan perubahan.
Kelompok ini semakin hari semakin besar. Menyadari dampak yang mampu mereka lakukan, juga tugas sejarahnya untuk dunia yang lebih baik. Masa depan dunia akan sangat bergantung dengan bagaimana mereka mampu terus merawat kesadaran membangun peradaban ke arah yang lebih baik.
Pilpres Indonesia 2024 hanyalah satu contoh kecil panggung sejarah yang akan turut mereka tentukan dari sekian banyak panggung sejarah yang terhampar luas di masa yang akan datang. Seberapa besar kehadiran generasi baru di panggung dunia ini akan mengarahkan dunia ke arah yang lebih baik, semua bergantung pada kesadaran kesejarahan. ()
*Pendiri Aliansi Pelajar Surabaya dan Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Universitas Airlangga,
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS