“SESUATU kekuatan telah sanggup menyalakan kembali api cinta Biru Langit pada kehidupan. Lelaki itu telah selamat dari amukan masa silam yang getir, juga deraan nasib hitam menghitam. Otaknya yang ideot, derita akibat terbunuhnya sang ayah oleh peristiwa penembakan misterius, lalu tak lama menyusul kematian ibunya, lambat laut sirna. Dia mulai jatuh cinta pada kehidupan.
Lantas, kehidupan pula yang menyeretnya kepada pergulatan batin yang rumit ketika cinta yang lain merenggutnya, seorang wanita telanjur mencintainya dengan kasih sayang, uang dan nama besar menyebabkan Biru Langit berada pada persimpangan, pemberhentian, sekaligus telikungan jalan.
Wanita itu putri seorang profesor bedah plastik yang keblinger pada ilmu politik. Disiplin ilmunya belakangan diketahui jadi penyebab keluarganya justru tak manusiawi. Cinta sama sekali mendapat arti yang lain kekuasaan lelaki dan tanggung jawab yang amat terbatas terjemahannya. Di situlah sebagai perempuan korban perkosaan, Sulistyorini, wanita itu mengalami kebimbangan. Di satu sisi ia ingin disentuh hatinya oleh laki-laki sebagaimana keadaannya, di sisi lain oleh sang ilmuwan dipandang sebagai wanita yang tanpa cela.
Menurutnya, wanita tetaplah wanita, apapun keadaannya. Sementara sang ibunda karena mendapati persoalan yang demikian komplek menyebabkan dirinya mengakui kelemahannya. Ia cukupkan diri berada di bawah kekuasaan lelaki, kekayaan dan juga nama besar. Ia nyaris tanpa suara.
Peristiwa paling dahsyat terjadi pada novel berlatar pembredelan tiga media besar ini, saat perdebatan Biru Langit dengan sang profesor menyangkut masalah kepribadian serta tanggung jawab kepada seorang anak.
Biru Langit yang diilhami sepucuk surat seorang kawannya, Pam tak juga mampu menyentuh lubuk terdalam sang profesor. Sang profesor dengan analisis keilmuannya yang mendarah daging juga tak sanggup menyentuh nurani putri serta istrinya.
Juga pada Biru Langit. Pam adalah seorang atheis yang dihilangkan penguasa dan hanya melalui surat yang tertuju pada ibunyalah, Biru Langit mendapat inspirasi banyak hal. Bagaimana seorang atheis bisa mengungkapkan perasaannya pada ibunya demikian memikat, lebih dari ungkapan pujian pada Tuhannya. Lantas bagaimana mereka semua hidup?
Ya, mereka berjalan sendiri-sendiri. Hidup mereka, cinta mereka seperti berbicara sendiri-sendiri, memaknai apapun maknanya. Mereka hanya saling membersihkan diri saja (gurah) dan kalaupun terlibat dalam satu simpul, banyak hal yang justru menimbulkan tanya. Ya, bagi mereka cinta adalah hidup itu sendiri, pahit getir, ambisi, gairah, ingatan, luka, muslihat, bahkan petaka.
Namun di luar itu semua, ada cinta yang tak tahu menahu, tak peduli bahkan abai, atau mungkin menolak dimengerti dengan suntuk sekalipun harus diterjemahkan dengan puisi atau fiksi.”
“Itu sinopsis novel saya yang terbaru, berjudul GURAH: Tak Sempat Dikubur,” kata S. Jai, sang penulis yang banyak memproduksi karya sastra ini, kemarin.
GURAH, urainya, berkisah tentang percintaan seorang aktivis demokrasi dengan perempuan anak seorang profesor bedah plastik. Meski si pemuda ayahnya dibunuh penembak misterius, dan kekasihnya adalah korban perkosaan, namun mereka akhirnya jatuh cinta pada kehidupan.
Novel yang diterbitkan Penerbit Pagan Press Juli 2015 setebal 618 halaman ini juga memperlihatkan bagaimana cinta sama sekali mendapat arti yang lain—kekuasaan lelaki dan tanggung jawab yang amat terbatas terjemahannya.
“Cinta bagi tokoh-tokoh novel berlatar penembakan misterius, pembredelan tiga media besar dan reformasi 1998 adalah hidup itu sendiri; pahit getir, ambisi, gairah, ingatan, luka, muslihat, bahkan petaka,” ujar pria kelahiran Kediri 4 Februari 1973 ini.
“Mereka menempuh jalan sendiri dan dalam perjalanan itu mereka gurah—saling membersihkan diri mereka sendiri,” tambah dia.
Alumnus bidang studi Sastra Indonesia FISIP Unair 1998 merasa, novel yang baru dia terbitkan itu ternyata sangat romantis. “Bahkan lebih romantis dari pikiran saya sendiri saat ini, apalagi dibandingkan dalam dunia nyata,” akunya.
“Rupanya ini novel yang menggebu-gebu sebagai rekaman saya era orde baru di sejumlah daerah di Surabaya, Kediri, Jakarta, dan lain-lain. Saya harus menyakinkan kawan-kawan, novel setebal 618 halaman ini tak kalah menarik dari karya saya sebelumnya; Kumara,” pungkas Jai. (*)
Biodata
Tempat/tanggal lahir: Kediri, 4 Pebruari 1972 (KTP)
Yang benar lahir di Kediri pada hari Ahad 4 Pebruari 1973
Alamat : Dusun Tanjung Wetan, RT 001 RW 001, Desa Munungrejo, Kecamatan Ngimbang, Lamongan 62273
Riwayat Pendidikan:
SDN Tales I Kec. Ngadiluwih Kab. (1985)
SMPN Ngadiluwih Kab. Kediri (1988)
SMEAN Kediri (1991)
Program Studi Sastra Indonesia FISIP Unair (1998)
Riwayat Pekerjaan:
Reporter Tabloid Oposisi 1998-1999
Reporter Harian Surya 1999-2003
Redaktur Harian Duta Masyarakat (2003-2005)
Staff Center for Religious and Community Studies, Surabaya. (2009-2011)
Staff Women and Youth Development Institute of Indonesia (2011-Sekarang)
Istri:
Mamik Sugiarti
Anak:
Raushan Damir
Kasyful Kanzan Makhfi
Zahra Ulayya Mahjati
KARYA
Tanah Api (Novel, LkiS 2005)
Tanha, Kekasih yang Terlupa (Novel, Jogja Media Utama 2011)
Gurah, Yang Tak Sempat Dikubur (Cerbung Surabaya Post)
Khutbah di Bawah Lembah (Novel, Najah 2012)
Malam (Novel, dalam proses penerbitan digital oleh PT Evolitera)
Berbagi Nikotin (Kumpulan Esai dalam proses penerbitan digital oleh PT Evolitera)
Alibi (Drama)
Upeti (Drama)
Sepotong Cinta dan Senyum Rupiah (Drama)
Racun Tembakau (Drama disaduran)
Pita Buta (Film Dokumenter)
Tirai (novel)
Kumara, Hikayat Sang Kekasih (Novel)
Penghargaan:
Pemenang Ketiga Sayembara Cerita Panji Dewan Kesenian Jawa Timur 2010
Terpilih sayembara 10 Cerpen Terbaik Pilihan Festival Seni Surabaya (FSS) 2010
Pemenang Sayembara Novel Etnografis Dewan Kesenian Jawa Timur 2013.
Selengkapnya tentang S. Jai, klik: Di Sini
Kontak: 081335682158
S.JAI (@jaitanha) on Twitter
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS