Selasa
26 November 2024 | 3 : 13

Ada Baiknya, Kita Beridulfitri Setiap Hari

ahmad-nurefendi

Oleh Ahmad Nurefendi Fradana*

Selama bulan Ramadan, kita bersama-sama menyelesaikan hajat menahan dan membatasi diri atas perintah Tuhan. Kemudian, kita mewujud menjadi manusia rohani. Yang sengaja lapar untuk melatih peduli kiri-kanan. Yang sengaja menjauhkan diri dari semua yang dilarang oleh Tuhan untuk yang berpuasa—kendati semua itu milik kita sendiri; halal untuk kita; dan mungkin baik bagi kita. Banyak dari kita yang kian rajin mendirikan sembahyang, giat mengkhatamkan Al-Qur’an, atau murah berderma harta.

Ramadan adalah hari-hari yang mengasyikkan bagi siapa saja yang hendak mencari kesejatian hidup; waktu-waktu yang amat tepat bagi mereka yang mengejar surga, “tempat” yang dijanjikan oleh Tuhan sebagai terminal akhir dari seluruh peristiwa hidup-mati kita. Kapan lagi ada obral kemuliaan yang diiming-imingkan Tuhan kepada manusia selain Ramadan: pahala berlipat, setan dibelenggu, lalu Idulfitri sebagai idiom kemenangan—bila Ramadan disebut sebagai peristiwa perang, terutama perang melawan hawa nafsu diri sendiri.

Pada banyak kesempatan, kita telanjur mendaku menjadi manusia yang menang “hanya” gara-gara telah beribadah puasa selama sebulan penuh. Menghunus kepercayaan diri itu sembari pada saat bersamaan, perlahan namun pasti, mengembalikan diri kepada tabiat semula: melampiaskan dan membebaskan segala hasrat. Apa boleh buat, setan—yang sepanjang Ramadan dibelenggu, kini dilepas lagi. Menggoda dan mengganggu kembali. Lalu kita bisa menemukan apologi.

Sesungguhnya, Idulfitri jauh lebih hakikat dari sekadar peristiwa bermaaf-maafan antartetangga kiri-kanan dan handai taulan. Idulfitri jauh lebih esensial ketimbang gegap gempita busana baru dan berbalas bakar mercon. Idulfitri jangan sampai kita rendahkan dengan pesta pora pasca-Ramadan—semacam peristiwa pembebasan setelah bebas dari kungkungan besi dingin penjara. Jangan pula kita turunkan nilainya hanya sebatas seremonial-seremonial yang selebratif dan simbolik misalnya berupa syawalan dan halalbihalal.

Dalam pergulatan hidup, manusia dapat saling menyilangkan dan mempertarungkan kekuatan. Mempersaingkan. Membenturkan. Berperang pada masing-masing kutub: kalah atau menang. Subjek dari kekalahan dan kemenangan itu, pada umumnya, adalah diri sendiri. Hingga beratus abad kehidupan berlangsung, umat manusia tak kunjung beranjak dari sifat kekanak-kanakan itu: untuk menang atas yang lain. Untuk merasa unggul daripada yang lain.

Adapun puncak dari ilmu dan pelajaran bagi makhluk bernama manusia, tak lain adalah kemenangan sejati. Kemenangan sejati sama sekali bukan kemenangan atas manusia lain. Bahkan bukan pula kemenangan umat Islam atas umat lain—sebab Islam dihadirkan ke muka bumi untuk merahmati seluruh alam. Bukan untuk sebagian golongan saja. Nabi Muhammad SAW menjelaskan melalui bahasa yang demikian populer: kemenangan yang sejati adalah kemenangan atas nafsu diri sendiri.

Manusia bisa saja dianggap berhasil menguasai manusia lain. Menggenggam dunia dan perangkat-perangkat beribu kali lipat dibanding yang dimiliki oleh manusia-manusia lain. Manusia boleh dan sah bila ingin mempertahankan kekuasaan. Tetapi itu sama sekali bukanlah—dan tidak sama dengan daya upaya untuk mencapai serta mempertahankan kemenangan. Apalagi bila menganggap manusia lain sebagai daerah jajahan dan wilayah agresi.

Ditinjau dari akar katanya, Idulfitri berarti kembali kepada fitrah. Kembali menuju kemenangan dari kekalahan-kekalahan. Bertekad untuk senantiasa mengendalikan diri; sekuat tenaga tetap mengamalkan ajaran-ajaran Ramadan; lalu berharap memperoleh derajat takwa yang hakiki, bukan sekadar pada titik simbolik. Bukanlah Idulfitri bagi mereka yang hanya berpakaian baru, adalah idulfitri bagi mereka yang meningkat ketakwaannya.

Ada baiknya kita menghadirkan Idulfitri bagi diri sendiri, terus-menerus, dan tak terputus sepanjang kemampuan dan kekuatan kita. Merawat dan memupuk agar buahnya dapat kita bagi-edarkan kepada siapapun. Maka, peristiwa menahan dan membatasi diri itu sesungguhnya dapat kita selenggarakan tiap hari. Memaafkan siapa saja dapat kita tempuh saban waktu. Sepanjang masa adalah puasa; tiap hari adalah Idulfitri.

Sebagai pejalan, kita semua dapat meneruskan rencana sebagaimana semula—tetap menyelenggarakan perjalanan, betapa pun di hadapan kita adalah tanah asing dan labirin panjang nan berliku. Betapa pun jalan yang kita tapaki kian curam atau kadang berliku. Untuk belajar menemukan yang sejati sembari sesekali istirahat untuk sekadar mengusir dahaga. Lalu diam-diam kita saling menengok ruang sunyi dalam dada kita: ternyata kampung halaman kian dekat.

* Dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, dan kandidat Doktor Universitas Negeri Surabaya

BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tag

Baca Juga

Artikel Terkini

KRONIK

Hari Guru Nasional, Bupati Fauzi Apresiasi Dua Pendidik Raih Prestasi Tingkat Nasional

SUMENEP – Pada peringatan Hari Guru Nasional 2024, Bupati Sumenep, Achmad Fauzi Wongsojudo memberi apresoasi atas ...
KABAR CABANG

Untuk Risma-Gus Hans dan Eri-Armuji, PDIP Surabaya Gelar Doa Bersama dan Santuni Anak Yatim Piatu

SURABAYA – Memasuki hari kedua masa tenang Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) 2024, Dewan Pimpinan Cabang (DPC) ...
LEGISLATIF

DPRD Surabaya Bentuk Pansus Raperda Pengembangan Ekraf

SURABAYA – Sidang paripurna ketiga DPRD Surabaya pada Senin (25/11/2024) memutuskan pembentukan panitia khusus ...
EKSEKUTIF

Usai Cuti Kampanye, Eri Pastikan Pengerjaan Proyek Strategis di Kota Surabaya

SURABAYA – Setelah dua bulan cuti kampanye Pilkada 2024, Eri Cahyadi kembali ke Balai Kota Surabaya melanjutkan ...
LEGISLATIF

Jaga Kepercayaan Rakyat dan Pastikan Pilkada Berlangsung Demokratis, Pulung Harap APH Netral

SURABAYA – Anggota Komisi III dari Fraksi PDI Perjuangan DPR RI Pulung Agustanto menyoroti pentingnya netralitas ...
KABAR CABANG

Menangkan Pilgub Jatim, DPC Kota Probolinggo Perkuat Saksi

PROBOLINGGO – Memenangkan Risma-Gus Hans di Pilkada Jawa Timur menjadi sebuah harga mati bagi kader PDI Perjuangan ...