Oleh Ahmad Nurefendi Fradana*
Selama bulan Ramadan, kita bersama-sama menyelesaikan hajat menahan dan membatasi diri atas perintah Tuhan. Kemudian, kita mewujud menjadi manusia rohani. Yang sengaja lapar untuk melatih peduli kiri-kanan. Yang sengaja menjauhkan diri dari semua yang dilarang oleh Tuhan untuk yang berpuasa—kendati semua itu milik kita sendiri; halal untuk kita; dan mungkin baik bagi kita. Banyak dari kita yang kian rajin mendirikan sembahyang, giat mengkhatamkan Al-Qur’an, atau murah berderma harta.
Ramadan adalah hari-hari yang mengasyikkan bagi siapa saja yang hendak mencari kesejatian hidup; waktu-waktu yang amat tepat bagi mereka yang mengejar surga, “tempat” yang dijanjikan oleh Tuhan sebagai terminal akhir dari seluruh peristiwa hidup-mati kita. Kapan lagi ada obral kemuliaan yang diiming-imingkan Tuhan kepada manusia selain Ramadan: pahala berlipat, setan dibelenggu, lalu Idulfitri sebagai idiom kemenangan—bila Ramadan disebut sebagai peristiwa perang, terutama perang melawan hawa nafsu diri sendiri.
Pada banyak kesempatan, kita telanjur mendaku menjadi manusia yang menang “hanya” gara-gara telah beribadah puasa selama sebulan penuh. Menghunus kepercayaan diri itu sembari pada saat bersamaan, perlahan namun pasti, mengembalikan diri kepada tabiat semula: melampiaskan dan membebaskan segala hasrat. Apa boleh buat, setan—yang sepanjang Ramadan dibelenggu, kini dilepas lagi. Menggoda dan mengganggu kembali. Lalu kita bisa menemukan apologi.
Sesungguhnya, Idulfitri jauh lebih hakikat dari sekadar peristiwa bermaaf-maafan antartetangga kiri-kanan dan handai taulan. Idulfitri jauh lebih esensial ketimbang gegap gempita busana baru dan berbalas bakar mercon. Idulfitri jangan sampai kita rendahkan dengan pesta pora pasca-Ramadan—semacam peristiwa pembebasan setelah bebas dari kungkungan besi dingin penjara. Jangan pula kita turunkan nilainya hanya sebatas seremonial-seremonial yang selebratif dan simbolik misalnya berupa syawalan dan halalbihalal.
Dalam pergulatan hidup, manusia dapat saling menyilangkan dan mempertarungkan kekuatan. Mempersaingkan. Membenturkan. Berperang pada masing-masing kutub: kalah atau menang. Subjek dari kekalahan dan kemenangan itu, pada umumnya, adalah diri sendiri. Hingga beratus abad kehidupan berlangsung, umat manusia tak kunjung beranjak dari sifat kekanak-kanakan itu: untuk menang atas yang lain. Untuk merasa unggul daripada yang lain.
Adapun puncak dari ilmu dan pelajaran bagi makhluk bernama manusia, tak lain adalah kemenangan sejati. Kemenangan sejati sama sekali bukan kemenangan atas manusia lain. Bahkan bukan pula kemenangan umat Islam atas umat lain—sebab Islam dihadirkan ke muka bumi untuk merahmati seluruh alam. Bukan untuk sebagian golongan saja. Nabi Muhammad SAW menjelaskan melalui bahasa yang demikian populer: kemenangan yang sejati adalah kemenangan atas nafsu diri sendiri.
Manusia bisa saja dianggap berhasil menguasai manusia lain. Menggenggam dunia dan perangkat-perangkat beribu kali lipat dibanding yang dimiliki oleh manusia-manusia lain. Manusia boleh dan sah bila ingin mempertahankan kekuasaan. Tetapi itu sama sekali bukanlah—dan tidak sama dengan daya upaya untuk mencapai serta mempertahankan kemenangan. Apalagi bila menganggap manusia lain sebagai daerah jajahan dan wilayah agresi.
Ditinjau dari akar katanya, Idulfitri berarti kembali kepada fitrah. Kembali menuju kemenangan dari kekalahan-kekalahan. Bertekad untuk senantiasa mengendalikan diri; sekuat tenaga tetap mengamalkan ajaran-ajaran Ramadan; lalu berharap memperoleh derajat takwa yang hakiki, bukan sekadar pada titik simbolik. Bukanlah Idulfitri bagi mereka yang hanya berpakaian baru, adalah idulfitri bagi mereka yang meningkat ketakwaannya.
Ada baiknya kita menghadirkan Idulfitri bagi diri sendiri, terus-menerus, dan tak terputus sepanjang kemampuan dan kekuatan kita. Merawat dan memupuk agar buahnya dapat kita bagi-edarkan kepada siapapun. Maka, peristiwa menahan dan membatasi diri itu sesungguhnya dapat kita selenggarakan tiap hari. Memaafkan siapa saja dapat kita tempuh saban waktu. Sepanjang masa adalah puasa; tiap hari adalah Idulfitri.
Sebagai pejalan, kita semua dapat meneruskan rencana sebagaimana semula—tetap menyelenggarakan perjalanan, betapa pun di hadapan kita adalah tanah asing dan labirin panjang nan berliku. Betapa pun jalan yang kita tapaki kian curam atau kadang berliku. Untuk belajar menemukan yang sejati sembari sesekali istirahat untuk sekadar mengusir dahaga. Lalu diam-diam kita saling menengok ruang sunyi dalam dada kita: ternyata kampung halaman kian dekat.
* Dosen Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, dan kandidat Doktor Universitas Negeri Surabaya
BACA ARTIKEL PDI PERJUANGAN JAWA TIMUR LAINNYA DI GOOGLE NEWS